Kontroversi Kitab Tuhfat al-Raghibin: Benarkah Karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari?

Kajian Banjar14 Dilihat
Ahmad Muhajir, PhD. Foto: dok.pribadi
Oleh: Ahmad Muhajir, PhD

Laporan Ahmad Muhajir – Koordinator Pusat Kajian Banjar dan Melayu – LP2M UIN Antasari 

UIN Antasari Banjarmasin menggelar Tadarus Ilmiah Ulama dan Cendekiawan Banjar Seri 1, sebuah diskusi akademik yang membahas warisan keilmuan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Fokus utama acara ini adalah mengkaji keaslian kitab Tuhfat al-Raghibin, yang telah menjadi perdebatan panjang di kalangan akademisi.

Perdebatan tentang siapa sebenarnya penulis kitab Tuhfat al-Raghibin akhirnya menemui titik terang. Kontroversi yang telah berlangsung lebih dari tiga dekade ini kembali mencuat setelah diterbitkannya buku Pembuktian Risalah Tuhfat al-Raghibin pada tahun 2025. Menariknya, penelitian yang menjadi dasar buku ini sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1990 oleh almarhum Prof. Muhammad Asywadie Syukur. Namun, hasil kajiannya baru diterbitkan tahun ini sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi beliau dalam mengungkap sejarah keilmuan ulama Banjar.

Acara ini diselenggarakan oleh Pusat Kajian Banjar dan Melayu LP2M UIN Antasari dan mendapat sambutan luar biasa. Awalnya, panitia hanya menargetkan 60 peserta, tetapi jumlah pendaftar meningkat hingga hampir 200 orang, sehingga lokasi acara dipindahkan ke auditorium yang lebih besar.

Kajian Ilmiah: Siapa Penulis Sebenarnya?

Diskusi ini berfokus pada penelitian yang dilakukan oleh Prof. Muhammad Asywadie Syukur, yang berusaha membuktikan bahwa kitab Tuhfat al-Raghibin benar-benar ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, bukan oleh Syekh Abdul Somad al-Palimbani, seperti yang pernah diduga sebelumnya.

Dua narasumber utama memberikan pemaparan mendalam mengenai hal ini.

Dr. Muhammad Rusydi menjelaskan bahwa buku Pembuktian Risalah Tuhfat al-Raghibin memiliki peran penting dalam mengklarifikasi perdebatan akademik mengenai kepengarangan kitab tersebut.

Salah satu bukti kuat yang ia soroti adalah penyebutan tradisi Banjar dalam kitab ini, seperti “membuang pasilih” dan “menyanggar banua”. Tradisi ini hanya dikenal di masyarakat Banjar, tetapi tidak ditemukan di Palembang, tempat Syekh Abdul Somad al-Palimbani berasal. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa kitab tersebut memang ditulis oleh ulama Banjar.

Dr. Rusydi juga menekankan bahwa argumentasi dalam buku ini sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Ia membandingkannya dengan fakta ilmiah seperti “matahari terbit dari timur”, yang kebenarannya sudah dapat diterima tanpa perlu pembuktian lebih lanjut.

Selain itu, ia membahas kritik Syekh Muhammad Arsyad terhadap ajaran wujudiah yang berkembang saat itu. Syekh Arsyad membedakan antara wujudiah muwahhid (yang masih sesuai dengan tauhid) dan wujudiah mulhid (yang dianggap menyimpang). Beliau menganggap wujudiah mulhid berbahaya karena dapat merusak akidah umat Islam.

Dalam kajian filologi, Dr. Rusydi juga menyoroti gaya bahasa, istilah khas Banjar, serta teknik penulisan dalam naskah asli. Ia menyarankan penelitian lebih lanjut dengan metode paleografi, yaitu mengkaji bentuk tulisan tangan, jenis kertas, dan gaya penulisan dalam naskah lama, agar semakin memperkuat bukti kepengarangan kitab ini.

Sebagai penutup, Dr. Rusydi mengapresiasi buku Prof. Asywadie Syukur sebagai kontribusi akademik yang sangat berharga dalam kajian Islam dan budaya Banjar. Ia juga mendorong peserta untuk terus meneliti dan melestarikan warisan keilmuan ulama Banjar, agar tetap dikenal dan dipelajari oleh generasi selanjutnya.

Narasumber kedua, Nahed Nuwairah, MHI., membahas buku Pembuktian Risalah Tuhfat al-Raghibin dari perspektif sejarah. Sebagai putri dari Prof. Muhammad Asywadie Syukur, ia memiliki pemahaman mendalam tentang latar belakang penelitian ayahnya dan bagaimana buku ini akhirnya diterbitkan.

Nahed menjelaskan bahwa Prof. Asywadie Syukur sudah lama tertarik meneliti kitab Tuhfat al-Raghibin. Bahkan sebelum penelitian ini dilakukan secara formal, ia telah membaca berbagai referensi dan berdiskusi dengan banyak pihak.

Ia juga menyoroti pengaruh budaya dalam penelitian ayahnya. Prof. Asywadie lahir di Desa Benau Hulu, Kalimantan Tengah, pada 8 Agustus 1939, dan sejak kecil hidup dalam lingkungan yang beragam, terutama dengan suku Dayak. Kedekatannya dengan tradisi lokal, termasuk ritual manyanggar, membuatnya memahami bagaimana unsur budaya memengaruhi ajaran keislaman di daerah tersebut.

Nahed menegaskan bahwa dalam kitab Tuhfat al-Raghibin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mengkritik ritual Manyanggar Banua, yang merupakan tradisi adat Dayak. Menurut Prof. Asywadie Syukur, hal ini menjadi bukti kuat bahwa kitab ini ditulis oleh ulama Banjar, karena ulama dari luar Kalimantan tidak mungkin memiliki pemahaman mendalam tentang tradisi lokal ini.

Selain itu, Nahed juga menjelaskan bukti linguistik yang memperkuat klaim bahwa kitab ini adalah karya Syekh Muhammad Arsyad, antara lain:

  • Penggunaan istilah khas Banjar seperti menyanggar, membuang pasilih, menyaru, lamuhur, dan kasarungan.
  • Perbedaan gaya penulisan dengan kitab-kitab Syekh Abdul Somad al-Palimbani.
    Kesamaan isi dan rujukan dengan karya Syekh Muhammad Arsyad, seperti Sabilal Muhtadin.
Kesimpulan dan Harapan

Acara Tadarus Ilmiah Seri 1 ini menjadi ajang diskusi yang menarik dan memperkaya wawasan mengenai kitab Tuhfat al-Raghibin serta warisan intelektual ulama Banjar.

Rektor UIN Antasari, Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A., menyampaikan bahwa UIN Antasari sedang berupaya membawa kajian Islam Banjar ke tingkat internasional, termasuk dengan penerbitan buku dalam bahasa Inggris.

Sebagai penutup, panitia dan peserta mengirimkan Al-Fatihah untuk Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Prof. Muhammad Asywadie Syukur, sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi mereka dalam dunia keilmuan Islam.