KDM, Persib dan Gelindingan Bola Nasib

HEADLINE, Opini103 Dilihat

Di bulan ini sepertinya lalu lintas pemberitaan dan tayangan layar kaca serta sosial media tersedot pada satu provinsi di Jawa yang dikenal dengan sebutan Tanah Pasundan.

Oleh: Muhammad Faqih Ridha*

Pertama, ada sosok “media darling” yang sering dipanggil bapak aing. Pemimpin tertinggi wilayah Jawa Barat yang mulai getol menghidangkan isu-isu pembangunan daerah untuk jadi santapan bersama, baik bagi orang dengan posisi dan peran yang serupa dengan dia juga bagi masyarakat luas.

Kedua, yang paling meriuhkan masyarakatnya tidak lain adalah kesuksesan klub bola kebanggaan mereka mengangkat lagi tropi Liga 1 BRI musim konpetisi 2024 – 2025 setelah musim sebelumnya pun mereka mencatatkan diri sebagai pemenang. Dua musim berturut-turut Persib Bandung menunjukan kelasnya sebagai “Prabu” tertinggi Liga Indonesia.

Antusiasme masyarakat Jawa Barat terhadap Persib merupakan kenyataan sosial yang unik. Ada yang mengatakan bahwa hampir-hampir semua penduduk Jawa Barat adalah bobotoh, viking, pendukung setia Persib. Penulis sendiri takjub dengan atmosfir ini apalagi sejak berdiam di Cirebon. Posisi Cirebon sendiri sebenarnya berada di wilayah pantura bagian paling timur yang berbatasan dengan Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Cukup jauh dengan Bandung yang berada di pedalaman. Di Cirebon ini tak ada klub bola yang mereka senangi secara bersama-sama selain Persib. Penulis menanyai apakah di kabupaten kota lain juga begitu? Jawabannya pun sama, hanya Persib nu di hate!

Setiap ada jadwal tanding Persib yang ditayangkan langsung hampir bisa dipastikan televisi akan dirubung masyarakat. Seperti menjadi hukum “wajib” untuk menyaksikan meskipun di layar kaca. Kita juga bisa tengok jika Persib bermain kandang stadion Gelora Bandung Lautan Api akan penuh. Apalagi jika lawan yang dihadapi adalah musuh bebuyutan seperti Persija Jakarta atau rival tim-tim teratas klasemen. Biasanya membludak hingga keluar stadion.

Persib sepertinya menjadi satu-satunya klub dengan jumlah penggemar “koor” dalam satu provinsi. Bahkan lintas wilayah. Jawa Tengah tidak demikian. Jawa Timur pun sama. Tak ada loyalitas untuk satu klub seperti Persib. Mereka terbagi ke beberapa klub seperti Persebaya, Arema, Madura United ataupun Persela Lamongan. Adapun Jakarta cakupan wilayahnya tak sebesar tiga provinsi yang disebut tadi.

Tingginya dukungan dan perhatian kepada Persib menjadi ciri khas “akidah” masyarakat Jawa Barat yang mayoritas beretnis Sunda. Apakah ini akan jadi penanda bahwa orang akan disebut sempurna sebagai Sundanese jika di dalam hatinya tertanam kecintaan kepada Persib? Mungkin saja Persib menjadi salah satu variabel “imagined community” bagi orang Jawa Barat.

Kesuksesan sang Maung hingga saat ini tidak lepas dari kemampuan pihak manajemennya. Setelah disapih dari dana pemerintah mereka mengibarkan bendera resmi sebagai perusahaan profesional. Terbukti hingga sekarang Persib menjadi klub dengan keuangan yang sehat. Di saat yang sama klub-klub lain masih mengandalkan “bakar uang” si pemilik klub, Persib sudah bisa meninggalkan “kebiasaan” lama ini.

Bahkan sponsor yang masuk ke klub pun tidak sedikit. Bisa kita lihat dari seragam jersey mereka yang hampir penuh dengan brand sponsor. 50 juta lebih populasi Jawa Barat adalah ceruk pasar menarik dan sayang untuk dilewatkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

Lantas apa hubungannya Persib dengan sang Gubernur terpilih ini? Secara langsung memang tidak ada. Tetapi kedua fenomena ini sedang berada di puncak klasemen popularitas. Secara pribadi Kang Dedi Mulyadi (KDM) memimpin perolehan poin popularitas gubernur di pulau Jawa. Salah satu lembaga survei melansir nilai di atas 90 persen kepuasan publik untuk sosok yang semakin identik dengan totopong ikat kepala putih dan pakaian serba putih ini.

Saat selebrasi konvoi kemenangan Persib di Bandung, KDM membaur dengan semua Bobotoh. Larut dalam kegembiraan yang sama. Momen ini seolah memberi pesan bahwa Gubernur tidak berjarak dengan semua unsur masyarakatnya. Dia adalah Persib dan Persib adalah Jawa Barat.

Nge-blend-nya dua fenomena di atas cukup menarik. Persib dan penduduk Jawa Barat adalah sumber daya yang harus dikelola oleh Gubernur selaku pemimpin tertingginya. Kesamaan “asal” dan “selera” bisa menjadi poin tersendiri dalam komunikasi kebijakan publik.

Langkah awal KDM sebagai gubernur paska pelantikan sudah menyita perhatian. Membongkar bangunan di puncak, penanganan banjir bandang, menggiring pelajar nakal ke barak tentara, rapat anggaran dengan birokrasi yang dibuka secara lebar, berdebat dengan anak remaja, memberi hadiah sedekah kepada orang-orang tak berpunya dan lainnya.

Melalui “personal branding” yang sudah dilakoninya jauh sebelum menjadi Gubernur maka tidak sulit bagi KDM untuk terus mengekspos sepak terjangnya. Teknologi sosial dengan berbagai platformnya dia manfaatkan secara masif dan taktis. Setidaknya sampai hari ini dia menyalip pemimpin daerah lain. Padahal jika melihat ke belakang, pilgub kemarin di pulau Jawa, provinsi Jawa Barat tidak seheboh Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur juga Banten. Terkesan biasa dan tak terlalu keras dalam konflik perebutan.

Ada kawan yang bertanya, apakah KDM sedang pencitraan? Penulis balik, tergantung apakah anda senang dengan dia atau tidak. Jadi urusan pencitraan mendingan dimasukan dalam bab kekembangan saja. Jangan jadi bahasan utama.

Perjalanan politik kekuasaan KDM selaku Gubernur Jawa Barat baru semusim jagung. Masih ada musim lanjutan dan tahun berikutnya. Semua dinamis dan saling berkelindan. Dari fenomena Jawa Barat ini lamunan penulis terbang ke kampung halaman di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Dinamika kontestasi Pilgub Kalsel tahun lalu cukup ramai. Meskipun hanya dua pasangan calon. Penulis sedikit mengikuti pemberitaan dan panggung debat calon melalui platform daring. Plus minus catatan demokrasi di banua sudah banyak diulas bahkan dibahas di gedung mahkamah. Apapun lika-liku politik yang terjadi kemarin, saat ini Kalsel sudah dipimpin oleh sang pemenang. Muhidin sebagai Gubernur dan Hasnuriyadi sebagai wakilnya.

Jika KDM tak berhubungan langsung dengan Persib, beda halnya dengan Barito Putera. Wakil Gubernur terpilih adalah CEO dari klub bola kebanggaan banua ini. Cuma sangat disayangkan, musim depan harus turun kelas ke liga 2 setelah tak mampu bersaing. Bersama PSIS Semarang dan PSS Sleman, tim Seribu Sungai harus berjibaku semusim nanti untuk bisa kembali ke level tertinggi Liga Indonesia.

Secara pribadi, penulis punya memori asik sewaktu kecil. Pernah bersenda gurau dengan para pemain Barito Putera yang kebetulan menggunakan hotel milik sesepuh keluarga penulis di Banjarbaru sebagai mess tinggal mereka. Namanya Hotel Ester.

Lalu jika tak khilaf, juga pernah mess tinggal pemain Barito di Jalan Cempaka 3 Kota Banjarmasin. Penulis ikut nimbrung menonton piala dunia 90 di televisi yang ada di mess itu dengan para pemain bersama anak-anak kampung.

Barito Putera bisa seperti Persib asal “syarat rukun” nya dijalankan dengan baik dan khusyuk. Mari sejenak kita menilik jauh ke belakang. Ada kenangan manis musim 1994/95 di mana Barito Putera sampai ke semi final liga yang waktu itu disebut Liga Dunhill. Artinya Barito Putera masuk top four.

Ndilalah lawannya adalah Persib Bandung. Meskipun kalah dengan skor tipis 0 – 1, tim Laskar Antasari pulang dengan kepala tegak. Bintang lapangan seperti Abdillah, Salahudin dan Frans Sinatra Huwae disambut sangat luar biasa oleh segenap penggemar dan masyarakat Kalsel terutama yang berada di Banjarbaru dan Banjarmasin. Namun, persis 30 tahun kemudian, nasib harus berbeda. Persib juara, Barito Putera turun kasta.

Bola dan Politik bisa saling melengkapi, tapi juga bisa saling menyandra. Penulis tidak akan masuk pada ranah “black market” politik, bisnis atau industri sepakbola. Jawa Barat mungkin bisa menjadi bahan bacaan.

Tentu saja, harapan semua orang di Kalsel adalah pemimpin terbaru bisa lebih progresif dan bertanggungjawab dalam menjalankan roda pemerintahan. Jumlah penduduk Kalsel sekitar 4,2 juta. Hanya sepersepuluh dibandingkan populasi Jawa Barat. Dan masih lebih banyak perolehan suara Komedian Komeng sebagai DPD dengan 5,3 juta suara.

SDM banua tidak rendah. Sebaliknya malah kompetitif. SDA nya jangan tanya! Melimpah! Sebenarnya, memaksimalkan seluruh potensi ini bukan pekerjaan yang sulit tapi juga bukan perkara gampang. Karena kita berkejaran dengan waktu untuk memperpendek jarak ketertinggalan. Jangan sampai ada anggapan bahwa ada atau tak ada pemimpin, urang banua tetap jalan dan hidup seperti biasa!

Setiap pemimpin punya karakter dan wataknya masing-masing. Rakyat tak mau tahu dengan semua itu. Yang dituntut sederhana, bahwa pemimpin harus bisa mendatangkan kemaslahatan, kesejahteraan dan keadilan sosial. Sebab jika belum mampu mewujudkannya, berarti kita semua belum menjadi manusia yang beradab.

Wal akhir, apakah Barito Putera bisa meraih nasib manis seperti Persib? Tentu bisa, sebab nasab dan nisab-nya sudah tersedia di meja! Tetapi apakah nasib Kalimantan Selatan akan serupa dengan dinamika bola yang sedang dirundung Barito Putera? Allohu A’lam…haram manyarah!

*(Penulis adalah pesepakbola amatir dan politisi nonjob)