Profil Ustadz Ahmad Syuhada Al-Alaby Bagian Kedua: Awal Mula Serius Meneliti Turāṯ

Ahmad Muhajir, PhD. Foto: dok.pribadi
Oleh: Ahmad Muhajir, PhD

“Berapa karya ane yang ente tahu?” tanya Ustadz Syuhada kepada saya, sesaat setelah saya menjelaskan maksud kedatangan tim UIN Antasari Banjarmasin. Saya pun menjawab terus terang bahwa satu-satunya yang saya tahu pasti adalah beliau telah men-ta‘liq Jawāmi‘ al-Asrār: Himpunan Segala Rahasia (lihat Profil Bagian Pertama).

Ustadz Syuhada kemudian mengambil beberapa kitab dan meletakkannya di hadapan saya. Ia mulai bercerita tentang awal kiprahnya sebagai peneliti turāṯ ulama Banjar—bahkan Nusantara.

Pemantik utamanya adalah sebuah peristiwa pada sekitar awal 2000-an yang terjadi di Desa Danau Ceramin dan Desa Pinang Habang, keduanya di Kecamatan Amuntai Tengah, dan di Desa Tapus Dalam, Kecamatan Sungai Pandan (Alabio). Wilayah ini adalah kampungnya Ustadz Syuhada dan keluarga besarnya. Saat itu, masyarakat terbelah menyikapi pengajaran masalah ilmu hakikat termasuk kitab ad-Durru an-Nafīs (الدر النفيس) di pengajian untuk umum. Kitab ini, yang bisa diterjemahkan sebagai “Mutiara yang Berharga”, adalah karya Syekh Muḥammad Nafīs bin Idrīs bin Ḥusayn al-Banjārī, ulama abad ke-18 sezaman dengan Syekh Muḥammad Arsyad al-Banjārī. Disusun dalam bahasa Melayu beraksara Arab di Makkah, kitab ini membahas tasawuf, terutama konsep wahdatul wujūd. Singkatnya, ad-Durru an-Nafīs tergolong dalam genre tasawuf falsafi.

Karena menyadari nilainya yang berharga, sejumlah majelis pengajian mengajarkannya. Banyak masyarakat, yang haus akan ilmu tentang kesempurnaan spiritual, berharap kitab ini bisa membawa pencerahan. Namun kitab ini juga tidak mudah dipahami, apalagi tanpa bimbingan guru. Bahkan dengan guru sekalipun, tidak semua bisa menyerap kandungan maknanya. Akal yang cemerlang dan jiwa yang bersih dibutuhkan untuk menyingkap makna sejati dari kalimat-kalimatnya sekaligus menolak bisikan syaitan yang menyesatkan, meski bisikan itu seolah-olah selaras dengan redaksi teks. Maka, berpegang teguh pada syariat menjadi prasyarat mutlak agar penghayatan terhadap kitab ini tidak menjerumuskan ke penyimpangan, seperti meninggalkan salat atau puasa.

Menurut Ustadz Syuhada, polemik di kampung halamannya bukan hanya menyangkut kepantasan ad-Durru an-Nafīs diajarkan kepada publik. Berbagai tuduhan pun bermunculan. Ada yang menilainya berbahaya bagi akidah orang awam, bahkan mencurigainya mengandung ajaran sesat. Beberapa ulama lokal menyusun daftar poin yang dianggap sebagai kesalahan, baik dari segi isi maupun teknis penulisan. Ustadz Syuhada menunjukkan fotokopi naskah berjudul Kerancuan Isi Kitab Ad-Durrun Nafis yang disusun oleh K.H. Abdullah Nafiah. Ia juga menyimpan naskah hasil Pertemuan Ulama Kab. HSU dengan Agenda Khusus Dialog Kitab Ad-Durrun-Nafis, Tanggal 12 September 2000, yang disusun oleh K.H. Muhammad Hamdan Khalid, Lc. Tanggal pada dokumen ini menunjukkan bahwa isu tersebut telah ramai dibicarakan di Hulu Sungai Utara sejak tahun 2000, atau bahkan sejak akhir 1990-an.

Dalam keterangan lanjutan melalui WhatsApp (28 Juli 2025), Ustadz Syuhada menuturkan bahwa dirinya mulai membicarakan ad-Durru an-Nafīs di Alabio, termasuk menanggapi tuduhan sesat terhadapnya, sekitar tahun 2005. Namun dua tahun sebelumnya, tepatnya pada Mei 2003, ia telah menuntaskan pembacaan serius atas naskah kitab tersebut. Artinya, ketika mulai mendiskusikannya pada 2005, ia sudah memiliki pemahaman yang sangat baik terhadap isi ad-Durru an-Nafīs

Saat itu, Syuhada muda baru berusia sekitar 23 tahun (beliau lahir pada 1982). Meski masih muda, semangatnya telah menyala. Ia merasa terpanggil untuk membela ad-Durru an-Nafīs dari tuduhan sesat. Baginya, ajaran dalam kitab tersebut berakar kuat dalam tradisi tasawuf Ahlus Sunnah. Ia meyakini bahwa kitab yang “sulit dipahami” bukan berarti “sesat”, dan kitab yang memang tidak ditujukan untuk khalayak umum bukan berarti layak dicurigai menyimpang.

Dalam semangat itulah, Ustadz Syuhada mulai berdiskusi secara intens dengan salah seorang tokoh MUI Alabio yang ia panggil “Abah”, yakni Tuan Guru Haji Fakhruddin dari Desa Pematang Benteng, Kecamatan Sungai Tabukan. Mereka membahas kontroversi seputar pengajian ilmu hakikat yang saat itu hangat diperbincangkan di kalangan ulama lokal, termasuk yang berbasis pada kitab ad-Durru an-Nafīs. Setelah beberapa kali pertemuan, Tuan Guru Haji Fakhruddin pun bertanya, “Syuhadā, kamu siap bicara di hadapan para ulama se-Alabio?” MUI berencana memfasilitasi debat terbuka antara dirinya dan para ulama senior yang mempersoalkan ad-Durru an-Nafīs, di antaranya Muallim Haji Abdullah Nafiah. Menurut Tuan Guru, mereka bukanlah ulama sembarangan. Namun dengan semangat berkobar, Syuhadā menyatakan siap. Maka, disepakatilah tanggal debat.

Ustadz Syuhadā bercerita bahwa kakak temannya sempat menyampaikan kekhawatiran kepadanya: “Ikam pacang dimamai orang!” (kamu akan dimarahi orang banyak!). Maksudnya, ia kemungkinan akan dimarahi oleh para ulama senior dalam debat, atau bahkan dicibir oleh warga kampung karena berani mendebat mereka. Namun ia tetap bergeming. Baginya, ini bukan soal dirinya, melainkan tentang membela Syekh Nāfis. Kalaupun harus dimarahi karena membela ad-Durru an-Nafīs, ia siap menanggung risikonya.

Ustadz Syuhada ingin membuktikan bahwa ada kitab-kitab rujukan yang mendukung isi ad-Durru an-Nafīs. Ia ingin meluruskan kesalahpahaman: bahwa apa yang dituduhkan sebagai kesesatan, sebenarnya hanyalah kekeliruan dalam membaca teks kitab tersebut. Kalaupun ia “kalah” dalam debat, setidaknya ia sudah menyampaikan keyakinannya, bukan menyimpannya dalam diam hanya karena takut berbeda dengan ulama senior.

Menjelang hari debat, ia bersiap. Mempersiapkan dalil, menajamkan argumentasi, dan menguatkan hati.

Tibalah hari yang ditunggu. Ustadz Syuhada datang ke lokasi yang ditentukan, membawa satu tas penuh kitab sebagai ‘amunisi’. Tapi tak seorang pun hadir. Para ulama yang ia kira akan menjadi lawan debat, tak tampak batang hidungnya. Ia sempat bingung, tapi yakin tidak salah waktu dan tanggal.

Setelah menunggu beberapa saat, nyatalah bahwa debat hari itu batal.

Saya lupa bertanya bagaimana perasaannya hari itu—kecewa, lega, atau justru merasa menang. Yang jelas, ia kemudian mencari penjelasan dari tokoh MUI Alabio, Tuan Guru Haji Fakhruddin. Ternyata, para ulama dari Amuntai harus menghadiri pertemuan penting, hingga debat dibatalkan.

Dalam kesempatan itu, ia bertanya: apa yang sebaiknya ia lakukan? Tokoh tersebut dengan bijak menyarankan: tuliskan semua pembelaan itu. Sebuah tulisan akan jauh lebih abadi daripada debat lisan. Ia bisa menjawab orang hari ini, dan membimbing generasi di masa depan.

Ustadz Syuhada pun mulai menyusun sebuah naskah, bukan sekadar ta‘līq, melainkan sebuah buku yang mengupas ad-Durru an-Nafīs secara mendalam. Proses penyusunannya memakan waktu bertahun-tahun. Versi awal yang belum diterbitkan secara resmi—masih dalam bentuk fotokopi—selesai pada tahun 2011. Dua tahun kemudian, edisi pertamanya diterbitkan secara resmi oleh Sahabat Mitra Pengetahuan, Kandangan – Hulu Sungai Selatan, pada tahun 2013. Buku ini, yang terdaftar dengan ISBN 978-602-1988-56-5, ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan memuat banyak kutipan berbahasa Arab. Pada edisi ini, judul kitab ditulis ad-Durru an-Nafīs karya Syekh Muḥammad Nāfis bin Idrīs al-Banjārī, dengan tambahan keterangan ta‘līq dan taḥqīq oleh Ustādz Aḥmad Syuhadā bin Ṭabranī al-Alabī al-Banjārī. Karya ini menjadi tonggak awal pembelaan ilmiahnya terhadap kitab Syekh Nāfis.

Covernya cukup menarik: dua lelaki berjubah dan berkopiah duduk berhadapan di atas batu karang, tampak dalam suasana belajar-mengajar. Sosok bertubuh besar kemungkinan sang guru, sedangkan yang lebih kecil muridnya. Jika tafsiran ini tepat, ilustrasi tersebut menggambarkan sang murid yang tengah menyimak penjelasan gurunya. Latar tempatnya sebuah pantai sunyi, hanya debur ombak dan langit jingga yang menemani. Barangkali ini menyiratkan bahwa ilmu dalam kitab ini mesti dipelajari secara khusus bersama seorang guru, bukan sekadar di forum pengajian umum.

Tidak berhenti di situ, Ustadz Syuhada kemudian menyusun edisi revisi dengan penjelasan yang lebih rinci. Karya ini diberi judul al-‘Iqd an-Nafīs min Kitāb ad-Durr an-NafīsKalung Mutiara Berharga dari Kitab ad-Durr an-Nafīs. Kitab setebal 329 halaman ini memuat ayat-ayat Al-Qur’an yang tercantum dalam ad-Durr, melakukan takhrīj (penelusuran sanad, sumber, dan derajat) hadis, melampirkan naskah Arab asli yang dikutip oleh Syekh Nāfis, menyusun biografi para tokoh yang disebut, melengkapi teks dengan tanda baca dan glosarium, serta mencantumkan daftar kitab-kitab rujukan. Al-‘Iqd an-Nafīs ini diterbitkan oleh Maktabah al-Alabī pada tahun 2024 (sekitar sebelas tahun setelah edisi pertama), dan turut dipasarkan melalui jaringan Khazanah Naqqariyyah.

Dalam pandangan yang lebih luas, polemik atas ad-Durru an-Nafīs tidak hanya terjadi di Alabio, kampung halaman Ustadz Syuhada dan keluarga besarnya. Dalam artikelnya yang terbit di Islamica: Jurnal Studi Keislaman (2022), Prof. Mujiburrahman mencatat bahwa sebagian ulama menolak ajaran tasawuf dalam kitab tersebut karena dianggap menyimpang dari ortodoksi. Ada yang menyebutnya keluar dari Ahlus Sunnah, bahkan menyesatkan. Di sisi lain, sebagian ulama justru melihat ajarannya sebagai bagian dari ortodoksi, hanya saja bersifat esoterik dan tidak untuk konsumsi awam. Karena itu, kebanyakan ulama menyarankan agar kitab ini tidak diajarkan secara bebas. Namun, berkat teknologi cetak dan meningkatnya minat terhadap tasawuf, ad-Durru an-Nafīs justru semakin tersebar dan dibaca luas, baik di Indonesia maupun Asia Tenggara (Mujiburrahman, 2022).

Semangat Ustadz Syuhada dalam membela ad-Durru an-Nafīs menjadi titik tolak penelitian seriusnya terhadap turāṯ. Dari situ lahir berbagai karya, baik berupa ta‘liq maupun syarḥ terhadap kitab-kitab ulama Nusantara. Dalam katalog kitab Maktabah al-Alaby, yang tergabung dalam Kumpulan Katalog Kitab yang terbitkan atau dipasarkan oleh Khazanah Naqqariyyah, tercantum 8 judul kitab hasil kerja Ustadz Ahmad Syuhada, termasuk al-‘Iqd an-Nafīs. Kitab yang terakhir ini kini telah menjangkau pembaca di berbagai daerah, dari Tanah Banjar hingga Aceh dan Malaysia—daerah-daerah yang dikenal memiliki kecintaan besar terhadap tasawuf falsafi.

*) Ahmad Muhajir, PhD adalah Koordinator Pusat Kajian Banjar dan Melayu pada LP2M UIN Antasari Banjarmasin.

Catatan: Foto cover-cover kitab dari Ustadz Ahmad Syuhada. Foto Katalog Kitab Maktabah Al-Alaby dari jaringan Khazanah Naqqariyyah.

Baca juga:  Profil Ustadz Ahmad Syuhada Al-Alaby Bagian Satu: Mu’alliq Berdarah Alabio, Pelestari Turat Ulama Banjar