
Ahmad Syuhada adalah seorang ustadz sekaligus peneliti turāṯ yang kini mengabdi di Pondok Pesantren Nurul Muhibbin Puteri, Barabai, Hulu Sungai Tengah. Di bawah asuhan Tuan Guru Haji Muhammad Bakhiet, beliau menjalankan berbagai tugas penting, mulai dari mengajar hingga menjaga keamanan dan ketertiban pondok. Suaranya yang tegas mencerminkan wibawa, namun di balik sikap itu, ia dikenal sebagai pribadi yang hangat dan bersahaja.
Untuk mengenang para datuknya yang berasal dari Alabio, ia menyematkan nisbah al-Alaby—yang berarti “orang Alabio”—di belakang namanya. Meski begitu, Ahmad Syuhada sebenarnya lahir di Desa Danau Caramin, Kecamatan Amuntai Tengah, Hulu Sungai Utara, sekitar 43 tahun silam. Maka, dalam setiap karya yang ia hasilkan, namanya tercantum sebagai Ahmad Syuhada al-Alaby.
Kunjungan tim UIN Antasari Banjarmasin ke kediamannya pada Selasa, 15 Juli 2025, disambut dengan penuh keramahan. Canda dan humornya mencairkan suasana, menjadikan percakapan akrab dan menyenangkan. Kunjungan ini sendiri telah direncanakan sejak jauh hari. Dua pekan sebelumnya, saya menghubungi beliau untuk menyampaikan maksud kedatangan: mendokumentasikan upaya pelestarian turāṯ—warisan intelektual berupa tulisan-tulisan para ulama Banjar.
Kitab-kitab klasik ini umumnya ditulis dalam bahasa Melayu beraksara Arab, meskipun sebagian diselipi teks Arab, dan memuat ajaran tauhid, fikih, serta tasawuf. Judul-judul kitab klasik ini masih dikenal oleh generasi tua, namun semakin jarang dibaca karena tampilannya yang kurang ramah, kosakatanya yang kian asing, serta kalah saing dengan karya-karya keislaman modern yang lebih mudah diakses. Padahal, isinya tetap relevan dan sarat nilai yang patut dilestarikan. Upaya pelestarian pun dilakukan lewat proses panjang, salah satunya dengan menerbitkan ulang kitab-kitab tersebut dalam format baru yang lebih akrab bagi pembaca masa kini.
Dalam upaya pelestarian ini, Ustadz Syuhada al-Alaby berperan penting sebagai mu’alliq, yakni pemeriksa dan pemberi catatan ilmiah atas naskah-naskah klasik. Naskah-naskah yang ia tangani seringkali berupa risalah dengan rujukan yang tidak lengkap. Kadang hanya menyebut nama kitab tanpa halaman, atau menyebut nama ulama tanpa penjelasan asal ide dan dalil.
Di sinilah pentingnya peran mu’alliq. Ia menelusuri dan memverifikasi setiap kutipan, lalu menyisipkan keterangan ilmiah agar isi risalah bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan tidak menyesatkan pembaca.
Naskah yang diperiksa bisa berupa manuskrip tulisan tangan maupun salinan cetak tua yang tidak mudah dibaca orang awam. Karena itu, Ustadz Syuhada al-Alaby juga terlibat dalam pengetikan ulang dan penyuntingan menggunakan komputer. Ia menambahkan tanda baca, membagi paragraf, dan memberi struktur baru agar pembaca masa kini lebih mudah memahami teks.
Proses ta’līq ini menuntut ketelitian tinggi, keluasan referensi, dan komitmen ilmiah. Tidak hanya membutuhkan keahlian khusus, pekerjaan ini juga mengandalkan akses pada kitab-kitab rujukan yang mahal dan kadang hanya tersedia di luar negeri. Dalam beberapa kasus, pencarian dilakukan melalui jejaring ilmiah di Turki dan Mesir.
Ruang tamu kediaman Ustadz Syuhada al-Alaby menjadi saksi keseriusannya. Di salah satu sisi dinding berdiri lemari besar berisi lebih dari 400 kitab. Koleksi ini bukan hanya pajangan, tetapi sumber dalam pekerjaan ilmiahnya. Di sudut lain, sebuah meja kecil dengan komputer menunjukkan tempat ia bekerja menyunting dan menelaah naskah-naskah penting.
Salah satu contoh risalah yang telah ia ta’liq adalah Jawāmi‘ al-Asrār: Himpunan Segala Rahasia. Naskah ini ditemukan penerbit Khazanah Naqqariyah di Pengaron, Kabupaten Banjar, dari garis keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Setelah ditemukan, naskah diserahkan kepada Ustadz Syuhada al-Alaby untuk diperiksa dan diberi anotasi ilmiah. Kini, hasil akhirnya beredar dalam versi cetak.
Menurut Dr. Muhammad Rusydi, dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Antasari, Jawāmi‘ al-Asrār memuat bahasan tasawuf falsafi dengan fokus pada ilmu ma‘rifat. Salinan yang saya miliki bersampul coklat tua dengan cetakan judul berwarna krem. Namun, menurut Ustadz Syuhada al-Alaby dan pihak penerbit, pernah dicetak pula dua versi sampul lainnya, masing-masing menyimpan kisah tersendiri.
Sentuhan ta’līq Ustadz Syuhada al-Alaby terasa sejak pasal pertama yang membahas “Pengenalan kepada Allah Yang Maha Besar.” Ia memecah teks menjadi paragraf-paragraf, menambahkan tanda titik pada akhir kalimat, dan memberi syakl pada kalimat-kalimat Arab. Ini penting untuk menghindari salah baca yang bisa mengubah makna.
Kepiawaiannya semakin tampak dalam penyusunan catatan kaki yang panjang dan dalam. Di halaman 8, misalnya, penulis Jawāmi‘ al-Asrār mencantumkan kalimat yang disebutnya sebagai hadis:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Ustadz Syuhada al-Alaby memberikan catatan kaki yang komprehensif terhadap kalimat tersebut dengan merujuk secara panjang lebar pada Kitāb al-Hāwī li al-Fatāwā karya Imām al-Suyūṭī. Dalam ta‘liq-nya, Ustadz Syuhada al-Alaby mencantumkan kutipan asli berbahasa Arab yang terbentang dari halaman 8 hingga akhir halaman 11. Kutipan ini memuat ulasan lengkap al-Suyūṭī tentang status kalimat tersebut—apakah termasuk hadis atau bukan—beserta uraian mendalam mengenai sepuluh jalan yang pernah dikemukakan para ulama untuk memahami maknanya. Di bagian akhir, al-Suyūṭī menutup dengan sebuah penegasan penting: bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dan tidak akan mampu mencapai pemahaman yang utuh tentang Dzat Allah secara menyeluruh.
Melalui penyertaan kutipan tersebut, Ustadz Syuhada al-Alaby tidak hanya memperkuat isi teks, tetapi juga membuka ruang bagi para pembaca yang menguasai bahasa Arab untuk menyelami langsung wawasan dan kehati-hatian metodologis dari seorang ulama besar seperti al-Suyūṭī.
Tanpa ta’līq, pembaca hanya akan mendapatkan terjemahan untuk kalimat ringkas tersebut dalam bahasa Melayu:
“Artinya: Barangsiapa mengenal ia akan dirinya, maka sesungguhnya mengenal ia akan Tuhannya.” (h. 11).
Catatan yang disusun Ustadz Syuhada al-Alaby memberikan makna jauh lebih dalam dan membuka peluang eksplorasi intelektual lebih lanjut.
Contoh lain terdapat di halaman 12, ketika penulis Jawāmi‘ al-Asrār mengutip sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ
Teks asli hanya memuat pemaknaan singkat dalam bahasa Melayu: “Bahwasanya Allah Ta‘ala menjadikan Ia akan Adam atas rupa-Nya atau sifat-Nya yang qā’im Ia dengan Dzat-Nya.” Namun, teks asli tidak menyebutkan sumber. Dalam hal ini, Ustadz Syuhada al-Alaby menyisipkan catatan penting: “Lihat Fath al-Bārī, Juz 5, halaman 205.” Penambahan ini memperkuat keabsahan kutipan yang sebelumnya hanya diasumsikan sebagian pembaca saja.
Selain Jawāmi‘ al-Asrār, terdapat pula karya-karya ulama lainnya yang mendapat sentuhan Ustadz Syuhada al-Alaby. Salah satunya adalah Kitab Tāj al-‘Arūs karya Syekh Ibnu ‘Aṭāillāh as-Sakandarī dalam terjemahan bahasa Melayu yang dikerjakan oleh Syekh ‘Uthmān bin Ḥājjī Shihābuddīn dari Pontianak. Terhadap karya ini, Ustadz Syuhada al-Alaby melakukan ta‘liq dan tahdzīb. Istilah ta‘liq merujuk pada pemberian catatan atau penjelasan, sedangkan tahdzīb berarti penyederhanaan redaksi kalimat tanpa merubah substansi.
Selain itu, Ustadz Syuhada al-Alaby juga memberi ta‘liq terhadap karya klasik lainnya, Tuhfah al-Rāghibīn karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Hasil kerja ilmiah ini kemudian diterbitkan dengan judul al-Qawl al-Mubīn. Dalam wawancara, beliau juga menunjukkan naskah Sabīl al-Muhtadīn karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang telah diberi catatan dan saat ini tengah dipersiapkan untuk diterbitkan.
Menariknya, peran Ustadz Syuhada al-Alaby tidak berhenti sebagai mu’alliq. Dalam wawancara, ia mengungkapkan penyiapan naskah yang jauh melebihi kegiatan anotasi. Salah satunya adalah pembelaan ilmiahnya terhadap ad-Durr an-Nafīs karya Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, yang kerap disalahpahami hingga dianggap ‘berbahaya’. Selain itu, ia juga aktif mentranskrip dan menyunting rekaman ceramah Tuan Guru Haji Muhammad Bakhiet, khususnya bagian penjelasan atas bait-bait al-Ḥikam karya Syekh Ibnu ‘Aṭāillāh as-Sakandarī.
Berbagai aktivitas intelektualnya di luar kerja ta’līq akan dibahas dalam tulisan terpisah.
*) Ahmad Muhajir PhD adalah Koordinator Pusat Kajian Banjar dan Melayu, LP2M UIN Antasari Banjarmasin.