
Ketika sebagian besar perempuan di masanya memilih jalan hidup biasa dan tunduk pada keterbatasan, Asmah Sjachruni menolak. Dia memperjuangkan hidupnya, dan kelak dia memperjuangkan kaumnya.
Sejak di bangku sekolah tingkat dasar, wanita kelahiran Rantau 28 Februari 1928 itu diminta ayahnya, Buhadjar (Ibunya: Imur) untuk berhenti saja, mengingat perempuan di masa itu tak terlalu mendapat tempat di masyarakat. Asmah menolak permintaan itu, dia terus saja bersekolah hingga lulus.
Setelah lulus, putri sulung dari Sembilan bersaudara itu menyalurkan keilmuannya di Departemen Pendidikan pada Masa pendudukan Jepang bernama Dein Beslit Mienseibu Tjokan. Ia mengajar di Futsu Tjo Gakko (setara sekolah dasar) di Rantau I. Tak berselang lama, ia kemudian menjadi Wakil Kepala Futsu Tjo Gakko di Rantau III.
Selain aktif sebagai pengajar, dia juga aktif di dunia militer. Di masa kependudukan Jepang, ia aktif di Fujinkai (Militer Perempuan).
Setelah Indonesia merdeka, Asmah mengajar di Sekolah Rakyat VI di Rantau III. Kemudian pindah ke Sekolah Rakyat VI Batang Kulur dan SR di Ulin Kandangan. Kepindahan Asmah ke Kandangan diduga karena mengikuti suaminya yang berasal dari ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan tersebut. Dia menikah di usia 16 tahun dengan Sjachruni (19 tahun) yang juga berprofesi sebagai guru.
Pada tahun 1948-1949, Asmah tercatat sebagai anggota Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) di Kandangan. Dengan demikian, ia menjadi salah satu saksi sejarah di saat Hasan Basry mencetuskan Proklamasi Kalimantan pada 17 Mei 1949 yang menegaskan bahwa Kalimantan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI.
Baca juga: Asmah Sjachruni (3) dan “Orang dari Selatan”
Masuk Muslimat NU
Meski sudah menjadi guru, Asmah masih merasa kurang dalam ilmu pengetahuan, terutama di bidang pengetahuan agama. Karena itulah, ia kemudian aktif mengikuti kajian di majelis-majelis taklim. Dari sanalah dia mengenal lebih dekat dengan tokoh-tokoh ulama dari kalangan Nahdliyin.
Pada tahun 1952, Asmah masuk Muslimat NU yang semula bernama Nahdlatoel Oelama Muslimat (NOM). Dalam dua tahun berorganisasi, Asmah dipercaya sebagai Ketua Muslimat NU wilayah Kalimantan Selatan pada 1954.
Di tahun yang sama, NU menggelar Muktamar di Surabaya dan Kongres Muslimat NU. Muktamar itu begitu penting bagi Asmah yang sudah menjabat sebagai Ketua Muslimat NU Kalsel. Terlebih, pertemuan tersebut menjadi ajang konsolidasi menjelang Pemilu 1955. Saat itu, NU baru saja melepaskan diri dari Masjumi dan akan ikut bertarung sebagai partai.
Saat Asmah mengurus izin untuk menghadiri Kongres Muslimat NU di Surabaya, Kepala Sekolah di mana ia mengajar tidak memberikan izin, karena Asmah sudah sering izin untuk kegiatan organisasi. Asmah mencoba cara lain agar mendapatkan izin, ia kemudian memohon bantuan Penilik Sekolah. Namun ia tak kunjung mendapatkan restu. Rupanya, cintanya pada organisasi itu mengalahkan sayangnya pada profesi yang dijalaninya selama belasan tahun.
“Bukan berarti saya tak sedih meninggalkan profesi yang sudah saya geluti selama 14 tahun. Tapi, semua kembali lagi kepada pilihan,” ujar Asmah dalam Autobiografinya berjudul “Asmah Sjachruni: Muslimah Pejuang Lintas Zaman (2002).
Rintangan untuk menghadiri Kongres Muslimat NU di Surabaya tidak hanya sampai di sana. Asmah kembali dihadapkan dengan aturan di masa itu, di mana guru yang mengajukan pengunduran diri sebagai pengajar harus mendapatkan izin dari bupati setempat. Asmah pun kembali mencari jalan, dan ia menemukan jalan itu melalui seorang kenalan bernama Basuni yang bekerja sebagai Badan Pembantu Harian (BPH).
Pulang dari Kongres Muslimat NU tersebut, Asmah berulah. Ia mengusulkan perwakilan wanita di DPR RI dari Partai NU. Usul itu pun mendapat perlawanan dari sejumlah ulama. Namun, Asmah tak mau kalah. (Bersambung)
Baca juga: Asmah Sjachruni (1), Wanita Baja dalam Pergolakan Sejarah
Leave a comment