
71 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1954 Muslimat NU menggelar Kongres dalam Rangkaian Muktamar NU di Surabaya. Topik utama yang dibahas pada Muktamar tersebut adalah persiapan NU sebagai partai dalam menghadapi Pemilu 1955. NU akan berebut kursi di DPR dan Konstituante dengan saudara tuanya, Masyumi, setelah memutuskan keluar partai tersebut di tahun 1952. Lawan lainnya ada PKI dan PNI.
Sebagai lanjutan persiapan menghadapi Pemilu tersebut, NU menggelar konferensi di daerah masing-masing. Di Kalimantan Selatan, konferensi ini digelar di Martapura, Kabupaten Banjar.
Pada konferensi tersebut dibahas seputar calon dari Kalsel yang akan diajukan ke pengurus NU pusat. Asmah yang pada saat itu menjadi Panitia Penyusunan Calon mengusulkan harus ada perwakilan dari kaum wanita. Usulan ini sempat mendapat penolakan, karena masih ada ulama NU yang berpendapat bahwa perempuan tak boleh tampil di panggung politik.
Persoalan ini kemudian didiskusikan kepada ulama karismatik Martapura pada saat itu, Tuan Guru H. Zainal Ilmi atau Guru Anang Ilmi. Menariknya, ulama yang dipercaya warga sebagai waliyullah itu menyetujui wanita menjadi anggota parlemen. Beliau beralasan, karena jabatan tersebut bukanlah jabatan hakim.
Fatwa tersebut kemudian diterima oleh peserta konferensi. Asmah yang pada saat itu menjadi Ketua Muslimat NU Kalsel dipilih menjadi salah satu bakal calon Anggota DPR dari Partai NU untuk wilayah Kalsel bersama dengan KH. Idham Chalid dan H. Ridwan Syahrani.
Tidak hanya memfatwakan kebolehan wanita menjadi parlemen, Guru Anang Ilmi bersama dengan ulama Martapura lainnya turun langsung dalam menggalang dukungan. Sebuah manuskrip yang disimpan keluarga Tuan Guru H. Muhammad Ramli (Pengurus NU Kalsel di masa lalu) menunjukkan betapa besarnya dukungan para ulama Martapura masa itu.
Baca juga: Asmah Sjachruni (3) dan “Orang dari Selatan”
Manuskrip tersebut berupa sebuah imbauan kepada masyarakat untuk mencoblos partai NU. Imbauan tersebut disebar dan dijadikan materi khutbah Jumat oleh para khatib.
Berikut sebagian petikan imbauan tersebut:
Marilah kita bersyukur kepada Tuhanyang Maha Kuasa yang telah memberikan taufik dan pertolongannya kepada kita, sehingga kita telah sanggup menyelesaikan tugas dan kewajiban kita dalam memberikan suara untuk Anggota DPR pada tanggal 29 September tadi.
Kemudian marilah pula kita bersedia untuk menyelasiakan tugas dan kewajiban kita memberikan suara untuk anggota Konstituante yang akan diadakan pada tanggal 15 Desember 1955 ini.
Bagian Akhir:
Jika saudara-saudara sepaham dengan kami atau mau sebahtera dengan kami, maka tusuklah tanda gambar Partai Nahdlatul Ulama pada hari Pemungutan Suara nanti.
Mudah-mudahan kita ditolong Allah yang Maha Kuasa sehingga kita mendapat kemenangan yang gilang gemilang bagi agama, masyarakat, dan negara kita, amin ya Robbal ‘Alamin.
Martapura, 17 Oktober tahun 1955
Imbauan tersebut dilengkapi tandatangan para ulama besar di Martapura pada saat itu; Tuan Guru H. Zainal Ilmi (Sesepuh Gerilya), Tuan Guru H. Abdulkadir (Pembawa NU ke Kalsel sekaligus Pimpinan Ponpes Darussalam saat itu), Tuan Guru H. Anang Sya’rani (Muhadits yang pernah mengajar di Masjidil Haram), Tuan Guru H. Husin Kaderi (Qadhi Martapura), Tuan Guru H. Muhammad Salim Ma’ruf (Wakil Pimpinan Ponpes Darussalam), H. Salman Djalil (Qadhi Qudhat Kalimantan Selatan), Tuan Guru H. Seman Mulia (tokoh ulama desa Keraton), Tuan Guru H. Salman Yusuf (Pengajar di Ponpes Darussalam), Tuan Guru H. Azhari (Tokoh ulama Pesayangan), Tuan Guru H. Siradjuddin (Tokoh Ulama desa Dalam Pagar), dan Tuan Guru H. Badjuri (Tokoh ulama desa Dalam Pagar).
Berkat fatwa dan dukungan Tuan Guru H. Zainal Ilmi serta ulama lainnya, Partai NU menang besar di Kalsel. Dari enam jatah kursi, tiga di antaranya diraih NU; H. Ridwan Sjahrani, Mohammad Hanafiah, dan Asmah Sjachruni. Muhammad Hanafiah masuk setelah KH. Idham Chalid ditunjuk menjadi Anggota Konstituante.
Sejak Pemilu 1955, nama Asmah Sjachruni berkibar di jagat nasional, dia menjadi sosok wanita yang tak tergantikan. Posisinya tak tergeser sejak Pemilu 1955 hingga 1982. Pada Pemilu 1971 misalnya, Partai NU hanya mengirim dua wakil Kalsel ke Senayan, dan Asmah Sjachruni menjadi salah satunya. Dia melenggang ke Senayan bersama KH. Idham Chalid.
Pada tahun 1973, terjadi penyederhanaan sistem kepartaian (Fusi), sehingga Partai NU, PSII, Perti, dan Permusi digabung dalam satu partai bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Meskipun persaingan lebih ketat, nama Asmah tetap tak tergeser. Pada Pemilu 1977 menjadi bukti, dia kembali menjadi satu-satunya calon wanita di antara 5 wakil Kalsel dari PPP. Nama anggota lainnya: A.A. Malik, Abdul Gani Madjedie, Achmad Aini Chotib, dan Hasan Basry.
Pada Pemilu 1982 Asmah kembali melenggang ke Senayan bersama 3 rekannya dari PPP Kalsel; A.A. Malik, Ali Yafie, dan Basrani Basri. Di penghujung periode masa jabatan tersebut (1987), Asmah memutuskan berhenti mencalonkan diri mengingat usianya yang sudah 60 tahun. Dia sudah berkiprah menjadi Anggota DPR RI kurang lebih 32 tahun lamanya.
Selain sebagai Anggota DPR RI lintas zaman, Asmah juga menjadi Ketua Muslimat NU tiga periode berturut, yakni sejak tahun 1979 hingga 1994. Pada saat Kongres 1995 di Jakarta, Asmah meletakkan jabatannya di usia kurang lebih 68 tahun dengan alasan regenerasi organisasi. Meski melepas jabatan Ketua Umum, Asmah masih aktif mendampingi kader-kadernya dalam beraktivitas. (Bersambung)
Baca juga: Asmah Sjachruni (1), Wanita Baja dalam Pergolakan Sejarah
Leave a comment