
Presiden Soekarno pernah sangat geram dengan orang-orang dari Selatan, utamanya Kalimantan Selatan. Pasalnya, Penguasa Perang Daerah Kalsel, Hasan Basry mengeluarkan surat pembekuan kegiatan PKI dan ormas-ormas pendukungnya pada 22 Agustus 1960.
Aksi Hasan Basry kemudian diikuti oleh otoritas militer di Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Peristiwa itu dikenal dengan Tiga Selatan (Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan).
Meski persoalan itu kemudian diambil alih Presiden Soekarno selaku Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) untuk penyelesaiannya, namun Soekarno agaknya masih kesal dengan aksi Hasan Basry. Dalam pidato kenegaraan HUT RI tahun 1962, Bung Karno meluapkan kemarahannya:
“…masih ada satu daerah, yang di situ itu belum dapat dibentuk Front Nasional Daerah karena adanya orang-orang yang Komunisto Phobi. Kepada mereka itu saya berkata: Suatu hari akan datang yang saya melihat segala usahamu gagal. Dan mungkin satu hari akan datang, yang engkau harus menebus kejahatanmu itu di dalam penjara, atau tiang penggantungan!” (Soekarno, Tahun Kemenangan [A Year of Triumph], 1962).
***
Tiga tahun berselang dari peristiwa itu, meletus peristiwa G 30 S/PKI pada 1965. Perpolitikan tanah air menjadi riuh, Muslimat NU merespons keras terjadinya peristiwa kelam tersebut. Mereka membuat penyataan mengutuk pelaku–pelaku PKI sebagai penghianat agama bangsa dan Negara pada 2 Oktober. Tiga hari kemudian, Front Pancasila Muslimat melakukan hal serupa (5 Oktober), dan pada 19 Oktober Muslimat melalui KOWANI minta pada Dep P&K agar membubarkan taman kanak–kanak “Melati” milik gerwani (organisasi perempuan PKI).
Asmah Sjachruni yang pada saat itu memimpin Front Pancasila Seksi Wanita beraksi lebih keras. Ia menuntut pembubaran PKI beserta underbownya pada 8 Oktober 1965.
Tidak sampai di situ, Asmah yang pada saat itu menjadi Anggota DPR dan ditunjuk sebagai Juru Bicara Fraksi NU bersama dengan KH. Ahmad Widjaja menyampaikan kemurkaannya dalam Sidang pertanggungjawaban Presiden Seokarno. Dalam pidatonya, ia menuntut Presiden Soekarno bertanggjungjawab atas peristiwa tersebut. Pidato Asmah dikenang sebagai pidato paling pedas di antara pidato juru bicara fraksi-fraksi yang lain.
Asmah memang wanita, tapi ia mantan prajurit Fujinkai dan anggota ALRI. Aksi kerasnya pada PKI di tahun 1965 sejalan dengan sikap Hasan Basry (tahun 1960), komandannya dari Selatan.
Wafat
Asmah Sjachruni wafat pada 2 Juni 2014. Selama karirnya, ia menunjukkan bagaimana mestinya kaum wanita mengambil peran dalam perjuangan.
Baca juga: Asmah Sjachruni (1), Wanita Baja dalam Pergolakan Sejarah
Baca juga: Asmah Sjachruni (2); Andil Guru Zainal Ilmi di Balik Suksesnya NU Kalsel pada Pemilu 1955
Profil
Nama: Asmah
Lahir: Rantau (Provinsi Kalsel), 28 Februari 1928.
Orang Tua: Buhadjar dan Imur
Suami: Sjachruni
Pendidikan: Sekolah dasar di masa penjajahan Belanda
Pekerjaan: Pengajar di Futsu Tjo Gakko (setara sekolah dasar) di Rantau I. Wakil Kepala Futsu Tjo Gakko di Rantau III, SR VI di Rantau III. SR VI Batang Kulur dan SR di Ulin Kandangan.
Organisasi: Fujinkai (Militer Perempuan), Angkatan Laut Republik Indonesia, Muslimat NU
Jabatan: Ketua Muslimat NU Kalsel, Ketua Muslimat NU pusat tiga periode, Ketua Front Pancasila Seksi Wanita, Anggota DPR RI dari Partai NU/PPP (1956-1987).(*)
Leave a comment