Home Kajian Banjar Baantaran Fikih Wali Nikah: Pelajaran dari Ulama Banjar
Baantaran

Fikih Wali Nikah: Pelajaran dari Ulama Banjar

Ilustrasi, wali nikah. Foto-Net
Ilustrasi, wali nikah. Foto-Net
Oleh: Sophia Aryani
Oleh: Sophia Aryani*

Bayangkan seseorang ingin menikah, tetapi ada satu sosok yang harus memberikan restu terlebih dahulu: wali nikah. Siapa dia? Kenapa perannya begitu penting dalam Islam? Perannya bukan sekadar “tanda tangan” di atas dokumen pernikahan, tapi bagian penting dari sahnya sebuah pernikahan menurut syariat. Nah, bagaimana sebenarnya wali nikah dijelaskan dalam kitab-kitab fikih, khususnya dalam Khazanah Islam Banjar? Mari kita lihat bagaimana dua kitab dari ulama Banjar mengupas soal ini.

Di Kalimantan Selatan, setidaknya ada dua kitab fikih klasik berbahasa Arab Melayu yang memasukkan bahasan tentang wali nikah, yaitu Kitabun Nikah karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1735–1812 M) dan Mabadi Ilmu Fikih yang disusun oleh Haji Muhammad Sarni (1915–1988 M). Keduanya membahas topik yang sama, tetapi dengan pendekatan yang berbeda dan menarik untuk ditelusuri lebih jauh.

Menilik Peran Wali Nikah dalam Dua Kitab Fikih Melayu Banjar

Dalam tulisan ini, penulis menyoroti bagian dari Kitabun Nikah yang membahas syarat-syarat wali mujbir, yaitu wali yang memiliki wewenang khusus untuk menikahkan perempuan di bawah tanggung jawabnya tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu. Sementara itu, Mabadi Ilmu Fikih, yang lebih ringkas dalam membahas hukum pernikahan, menitikberatkan pada urutan wali serta prosedur yang harus diikuti jika wali utama tidak dapat hadir. Memahami perbedaan ini memberikan wawasan yang lebih luas tentang konsep wali nikah dalam fikih.

1. Wali Mujbir dalam Kitabun Nikah

Dalam Kitabun Nikah, pembahasan awal tentang wali nikah dapat ditemukan pada halaman 16–18. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menjelaskan bahwa ada dua jenis wali, yaitu wali mujbir dan wali non-mujbir. Wali mujbir memiliki wewenang untuk menikahkan seorang perempuan tanpa izinnya, tetapi dengan syarat-syarat tertentu:

  • Perempuan yang dinikahkan masih kecil atau belum baligh.
  • Calon suami harus sekufu dengan perempuan yang dinikahkan.
  • Mahar yang diberikan harus sesuai dengan mahar mitsil (standar).
  • Tidak ada kebencian atau perselisihan yang nyata antara calon suami dan perempuan yang dinikahkan.
  • Tidak ada permusuhan yang jelas antara wali dan anak perempuannya.

Wewenang wali mujbir ini bukan berarti mutlak. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perempuan tetap memiliki hak untuk menolak pernikahan.
Kitabun Nikah juga mengulas urutan wali nikah secara lebih rinci, tetapi artikel ini hanya menyoroti pembahasan wali mujbir dalam karya Syekh Muhammad Arsyad. Setelah memahami bagaimana wali mujbir dibahas dalam Kitabun Nikah, kini kita beralih ke Mabadi Ilmu Fikih, yang lebih menyoroti aspek urutan dan tata cara perwalian dalam pernikahan.

2. Wali Nikah dalam Mabadi Ilmu Fikih

Sementara itu, dalam Mabadi Ilmu Fikih, wali nikah dibahas pada juz 3, halaman 14–15. Kitab ini memberikan daftar urutan wali yang terstruktur:

  1. Bapa,
  2. Kakek dan seterusnya ke atas,
  3. Saudara kandung laki-laki,
  4. Saudara laki-laki seayah,
  5. Anak laki-laki dari saudara kandung,
  6. Anak laki-laki dari saudara seayah,
  7. Paman kandung dari pihak ayah,
  8. Paman seayah dari pihak ayah,
  9. Anak-anak mereka.

Jika seluruh wali yang berhak tidak ada, maka perwalian berpindah kepada hakim. Urutan ini harus ditaati, dan wali yang lebih jauh tidak bisa langsung menikahkan jika wali yang lebih dekat masih ada dan memenuhi syarat. Mabadi Ilmu Fikih juga menambahkan pembahasan mengenai perselisihan antara wali dan perempuan yang akan dinikahkan, serta syarat sahnya wali dan saksi pernikahan:

  • Islam,
  • Baligh,
  • Berakal,
  • Merdeka,
  • Laki-laki,
  • Adil (tidak fasik atau melakukan dosa besar berulang kali).

Jika seorang wali tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka hak perwaliannya bisa berpindah ke pihak lain atau kepada hakim.

Penutup

Pada akhirnya, pemahaman tentang wali nikah bukan hanya soal teori, tetapi juga bagaimana hukum Islam memberikan panduan yang seimbang antara aturan dan kemaslahatan. Tapi di luar urusan wali dan syarat sah pernikahan, ada hal lain yang tak kalah penting: perjalanan setelah akad. Sebab, pernikahan bukan hanya tentang ijab qabul, tetapi juga kompromi seumur hidup—mulai dari urusan memilih menu makan malam hingga siapa yang harus bangun duluan untuk mematikan lampu. Lebih dari itu, pernikahan juga tentang menghadapi perbedaan dalam mendidik anak, mengatur keuangan, hingga melewati ujian hidup bersama. Dalam hal ini, bukan hanya hukum fikih yang berperan, tetapi juga kebijaksanaan, kesabaran, dan komunikasi agar ikatan sakinah, mawaddah, dan rahmah tetap terjaga.

Wallahu A’lam bis Shawab.

*) Mahasiswa Program Magister Hukum Keluarga – UIN Antasari Banjarmasin

Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Saksi Nikah dan Ijab Qabul: Bagaimana Ulama Banjar Mengajarkannya?

Pernikahan dalam Islam bukan sekadar seremoni sakral, tetapi juga ibadah yang harus...

Rujuk dalam Kitab Melayu Banjar Kitabun Nikah dan Mabadi Ilmu Fiqih

Suatu hari, seorang lelaki menyesali keputusannya menceraikan istrinya. Masih dalam masa iddah,...

Li’an: Sumpah Dahsyat yang Memisahkan Suami-Istri Selamanya!

Dalam Islam, menuduh seseorang berzina tanpa bukti bukanlah hal yang bisa dianggap...