Merenungi Warisan Intelektual Prof. Asywadie Syukur dalam Tadarus Ilmiah UIN Antasari

Kajian Banjar6 Dilihat
Ahmad Muhajir, PhD. Foto: dok.pribadi
Oleh: Ahmad Muhajir, PhD*

Di balik dinamika zaman yang terus berubah, ada warisan pemikiran yang tetap bertahan, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. UIN Antasari Banjarmasin, dalam gelaran Tadarus Ilmiah Ulama dan Cendekiawan Banjar Seri 1, bukan sekadar mengkaji kitab Tuhfat al-Raghibin, tetapi juga menghidupkan kembali jejak seorang akademisi Banjar: Prof. Drs. K.H. M. Asywadie Syukur, Lc.

Dalam sambutannya, Prof. Mujiburrahman, penyunting buku Pembuktian Risalah Tuhfat al-Raghibin, mengenang Prof. Asywadie bukan hanya sebagai seorang akademisi dan ulama, tetapi juga seorang tokoh yang pikirannya telah membentuk wawasan keislaman di Kalimantan Selatan. Dedikasinya terhadap kajian kitab ini bukan sekadar pencarian akademik, tetapi sebuah usaha untuk menjaga warisan keilmuan Banjar agar tetap hidup dan relevan.

Menghidupkan Kembali Dedikasi Sang Ulama

Dalam hidupnya, Prof. Asywadie Syukur bukan hanya seorang lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir, atau seorang Rektor IAIN Antasari (1997-2001), tetapi lebih dari itu, ia adalah pemikir yang jeli membaca realitas. Perannya dalam MUI dan DPRD Kalsel (1982-1987), serta pengasuh program Tanya-Jawab Masalah Hidup dan Kehidupan di RRI Banjarmasin saat radio masih berjaya mencerminkan bagaimana ilmu yang dimilikinya tidak hanya tersimpan dalam buku, tetapi juga diwujudkan dalam pengabdian kepada masyarakat.

Salah satu warisan intelektualnya yang berharga adalah penelitiannya terhadap kitab Tuhfat al-Raghibin. Dalam kajiannya, ia berusaha membuktikan bahwa kitab ini adalah karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, bukan Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, sebagaimana sempat diperdebatkan. Namun, lebih dari sekadar membuktikan kepengarangan, ia juga menelusuri jejak bahasa, budaya, dan kepercayaan yang melekat dalam kitab ini—menunjukkan betapa eratnya hubungan keislaman dengan kearifan lokal.

Ia menyoroti bagaimana kitab ini merekam kosakata khas Banjar, serta kaitannya dengan ritual lokal seperti manyanggar banua dan mambuang pasilih. Kajian ini bukan sekadar akademik, tetapi juga menjadi jendela yang menghubungkan kita dengan tradisi keislaman masyarakat Banjar di masa lalu.

Lebih jauh, Prof. Asywadie juga menelusuri kritik tajam Syekh Muhammad Arsyad terhadap paham wujudiyah mulhid—sebuah pemikiran yang dalam sejarahnya dikaitkan dengan eksekusi H. Abdul Hamid Abulung. Ini bukan sekadar sejarah keislaman di Kalimantan, tetapi juga refleksi tentang bagaimana suatu pemikiran bisa membentuk perjalanan sosial dan politik dalam suatu masyarakat.

Refleksi dari Sebuah Buku: Lebih dari Sekadar Kajian Akademik

Diskusi dalam Tadarus Ilmiah ini semakin memperjelas betapa pentingnya kajian Prof. Asywadie Syukur, yang kini diterbitkan dalam bentuk buku Pembuktian Risalah Tuhfat al-Raghibin. Buku ini tidak hanya memperkuat argumentasi akademik, tetapi juga menjadi saksi bisu dari kegigihan seorang cendekiawan dalam menjaga warisan pemikiran.

Sejumlah bukti yang mendukung kepengarangan Syekh Muhammad Arsyad terhadap kitab ini kembali ditegaskan:

  • Kosakata khas Banjar, seperti menyanggar, mambuang pasilih, menyaru, lamuhur, dan kasarungan.
  • Perbedaan gaya penulisan dengan kitab-kitab Syekh Abdus Shamad al-Falimbani.
  • Kritik keras terhadap paham wujudiyah mulhid, yang dikecam oleh Syekh Muhammad Arsyad.

Melalui acara ini, kita diingatkan kembali bahwa melestarikan pemikiran ulama bukan sekadar menghafal teks, tetapi juga memahami konteksnya dalam kehidupan masyarakat.

Warisan yang Perlu Dihidupkan, Bukan Sekadar Dikenang

Buku ini diterbitkan bukan hanya sebagai bentuk penghormatan kepada Prof. Asywadie Syukur, tetapi juga sebagai pengingat bahwa pemikiran ulama dan cendekiawan harus terus diteruskan, dipelajari, dan dikembangkan.

Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Mujiburrahman, upaya ini adalah sebuah apresiasi atas dedikasi Prof. Asywadie dalam kajian Islam di Nusantara. Namun, lebih dari itu, ini adalah ajakan bagi kita semua untuk melanjutkan estafet keilmuan yang telah diletakkan oleh para pendahulu.

Tadarus Ilmiah ini bukan hanya tentang mengenang, tetapi tentang mewarisi dan meneruskan. Agar pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Prof. Asywadie Syukur, dan para ulama Banjar lainnya tetap menjadi bagian dari kehidupan intelektual kita.

Sebab, ilmu yang tidak diteruskan hanyalah kenangan. Dan warisan sejati adalah yang tetap hidup dalam pemikiran dan peradaban.

(*) Diolah Ahmad Muhajir dari Sambutan Penyunting Buku dan Catatan Kegiatan Tadarus Ilmiah di UIN Antasari