BANJARUPDATE.COM, BANJARMASIN – Nafsu seringkali membuat seseorang terperosok dalam kubangan masalah. Karena itu, Nafsu mestinya dapat dikontrol. Sehingga, tak lagi membuat keresahan. Sebaliknya, dengan kontrol diri terhadap nafsu tersebut akan mendatangkan ketenangan. Nah, langkah pertama untuk mengendalikan nafsu adalah dengan “berlapar”. Berlapar seperti apa yang dimaksud?
Diterangkan Tuan Guru H. Ahmad Zuhdiannoor, berlapar yang dimaksud adalah menahan hawa nafsu. Sebab, nafsu adalah makhluk yang paling nakal di alam semesta. Nafsu tak pernah kenyang. Karena itu, banyak orang yang menurut orang banyak hidup orang lain berlebihan (kaya raya). Akan tetapi, diri si orang kaya tersebut masih merasa kekurangan.
“Hal itu akibat dari mengabulkan nafsu,” ujar Guru dalam Majelis Taklim di Musala Darul Iman, Komplek Pondok Indah, Teluk Dalam Banjarmasin, Rabu (7/12) malam.
Dengan demikian, batasi keinginan nafsu dengan menyukuri apa yang ada, dan menyelaraskan antara keperluan dan rezeki yang dimiliki. “Kalau hanya memiliki sepeda syukuri. Sebab, banyak orang yang mengendarai motor yang mengeluh karena harga BBM naik. Yang gaji satu juta, jangan menginginkan membeli mobil,” tutur beliau. Dan kalau pun terkabul untuk membeli mobil, suatu saat menginginkan hal yang lebih bagus daripada mobil, bisa saja pengen beli pesawat, dan seterusnya. Karena nafsu tak pernah puas, tambah Guru.
Karena itu, sambung Abah Haji -begitu ulama ini dikenang- kunci untuk mengendalikan hawa nafsu adalah dengan membatasi makanan. Sebab, senjata untuk melumpuhkan nafsu adalah dengan lapar.
“Kata Imam al Ghazali ada sepuluh kelebihan orang yang lebih memilih lapar daripada berlezat-lezat (makan). Pertama, akalnya pintar. Kedua, hatinya mudah tersentuh dengan apa yang ia baca, hingga ia bisa munajat kepada Allah dan terkadang bisa meneteskan air mata. Ketiga, hati merasa hina. Layaknya seperti orang biasa. Walaupun banyak mempunyai harta, tapi harta tersebut tidak membuatnya sombong. Keempat, orang yang lapar bisa membayangkan sakitnya lapar dengan sakitnya bala di akhirat (banyak ibadah). Kelima, dapat mengendalikan nafsu. Keenam, dapat menahan tidur yang berlebihan (8 jam cukup). Ketujuh, dengan berlapar badan seseorang lebih ramping, dan lebih ringan untuk melaksanakan ibadah. Delapan, badan sehat. Sembilan, pengeluaran uang tidak banyak. Karena, makan sedikit. Sepuluh, dengan pengeluaran uang yang sedikit tentu menyisakan uang yang lebih. Karena itu, uang yang lebih (tersisa) tersebut bisa digunakan untuk bersedekah,” ungkap beliau.
Dalam kesempatan itu pula, Abah Haji mengingatkan agar umat Islam tidak memiliki sifat gengsi. Sebab, gengsi adalah bentuk seseorang terpedaya dengan bujukan nafsu. “Syukuri apa yang ada, jangan peduli dengan pendapat orang lain. Jangan gengsi, gengsi itu bentuk kebodohan,” tambah Abah Haji.
Gengsi hanya akan membuat seseorang menambah permasalahan baru. Seperti, kalau tidak makan di Restauran, tidak mau makan. Padahal dengan berprinsip demikian, ia sudah terjebak dengan rayuan dunia, yang berarti melakukan kebodohan yang terselubung.
Ditambahlagi dengan aturan restauran yang macam-macam. Mesti pakai sendok, garfu, pisau, dan sebagainya, yang ujung-ujungnya malah mempersulit dirinya sendiri.
“Syukuri apa yang ada, jangan gengsi. Aku tidak ingin mendoakan umat Islam kaya. Sebab, banyak orang beriman yang kemudian kaya, malah terpedaya dengan kekayaan dan mencintai dunia. Contohnya Sa’labah. Meminta doakan kaya kepada Nabi. Namun ketika sudah kaya, ia terpedaya dengan kekayaannya dan lupa dengan kewajibannya sendiri, salat berjamaah tidak terlihat, dan tidak mau membayar zakat. Hal itu pun terjadi di masa sekarang. Banyak yang meminta didoakan kaya dengan para ulama. Setelah kaya, tak kelihatan lagi (batang hidungnya), nomor handphone diganti,” tutur Abah Haji, yang disambut gelak tawa jemaah.
Penulis: Muhammad Bulkini
Catatan: berita ini sebelumnya telah terbit di koran Media Kalimantan.
Leave a comment