Home Kajian Banjar Baantaran Saksi Nikah dan Ijab Qabul: Bagaimana Ulama Banjar Mengajarkannya?
Baantaran

Saksi Nikah dan Ijab Qabul: Bagaimana Ulama Banjar Mengajarkannya?

Ilustrasi, ijab qabul. Foto-Net
Ilustrasi, ijab qabul. Foto-Net
Oleh: Abdurrahman*
Oleh: Abdurrahman*

Pernikahan dalam Islam bukan sekadar seremoni sakral, tetapi juga ibadah yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar sah menurut syariat. Salah satu aspek terpenting dalam akad nikah adalah kehadiran saksi dan pelafalan ijab qabul yang benar. Namun, pernahkah Anda berpikir bahwa cara memahami hukum pernikahan bisa berbeda dari satu ulama ke ulama lainnya?

Di Nusantara, para ulama memiliki pendekatan yang beragam dalam menjelaskan aturan pernikahan. Dua kitab klasik dari Kalimantan Selatan—Kitabun Nikah karya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1735-1812 M) dan Mabadi Ilmu Fikih karya Haji Muhammad Sarni (1915-1988 M)—menunjukkan bagaimana fikih dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan umat. Jadi, bagaimana kedua kitab ini menjelaskan saksi nikah dan ijab qabul? Mari kita telusuri bersama!

Menelisik Dua Kitab Fikih Klasik Banjar

Dua kitab ini memiliki latar belakang penulisan yang berbeda. Kitabun Nikah adalah bagian dari karya besar Syekh Muhammad Arsyad yang terkenal sebagai peletak dasar fikih di Kesultanan Banjar. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat mendetail dalam menjelaskan hukum-hukum Islam, termasuk soal pernikahan.

Di sisi lain, Mabadi Ilmu Fikih adalah kitab yang ditulis lebih dari satu abad setelahnya oleh Haji Muhammad Sarni. Kitab ini lebih ringkas dan sistematis, bertujuan untuk memberikan pemahaman dasar bagi pemula yang ingin belajar fikih.

Meski sama-sama membahas saksi nikah dan ijab qabul, pendekatan keduanya sangat berbeda. Kitabun Nikah menyelami fikih secara mendalam, sedangkan Mabadi Ilmu Fikih lebih ringkas dan praktis.

Perbedaan dalam Syarat Saksi Nikah

Dalam Islam, saksi nikah adalah syarat sah pernikahan yang tidak bisa diabaikan. Tanpa saksi yang memenuhi syarat, akad nikah menjadi tidak sah.

  1. Kitabun Nikah: Detail dan Ketat
    Dalam Kitabun Nikah, Syekh Muhammad Arsyad menjelaskan bahwa saksi nikah harus memenuhi 13 syarat. Beberapa di antaranya adalah:
  • Muslim
  • Laki-laki
  • Berakal sehat
  • Balig
  • Merdeka
  • Tidak buta (harus bisa melihat)
  • Adil (tidak dikenal sebagai pelaku dosa besar atau terus-menerus dalam dosa kecil)

Beliau juga menegaskan bahwa orang fasik tidak boleh menjadi saksi nikah. Artinya, seseorang yang sering melakukan dosa besar atau terus-menerus dalam dosa kecil secara otomatis gugur dari kelayakan sebagai saksi.

  1. Mabadi Ilmu Fikih: Ringkas dan Fleksibel
    Sementara itu, dalam Mabadi Ilmu Fikih, syarat saksi nikah disederhanakan menjadi hanya 6 syarat, yaitu:
  • Islam
  • Balig
  • Berakal
  • Merdeka
  • Laki-laki
  • Adil

Namun, ada satu perbedaan besar. Jika dalam Kitabun Nikah orang fasik langsung dianggap tidak sah sebagai saksi, Mabadi Ilmu Fikih memberikan solusi yang lebih fleksibel: jika tidak ada saksi yang adil, maka orang fasik boleh menjadi saksi asalkan bertaubat terlebih dahulu.

Pendekatan ini menunjukkan bahwa Mabadi Ilmu Fikih lebih menyesuaikan diri dengan kondisi sosial masyarakat yang mungkin sulit menemukan saksi yang benar-benar bebas dari kefasikan.

Ijab Qabul: Mana yang Lebih Rinci?

Ijab qabul adalah inti dari akad nikah. Ijab adalah ucapan wali yang menikahkan, sementara qabul adalah jawaban dari calon suami yang menerima pernikahan tersebut.

  1. Kitabun Nikah: 14 Variasi Lafaz
    Syekh Muhammad Arsyad dalam Kitabun Nikah memberikan 14 contoh lafaz ijab qabul dalam berbagai situasi. Hal ini menunjukkan betapa fleksibelnya hukum Islam dalam menyesuaikan akad dengan keadaan yang berbeda.

Sebagai contoh, jika wali mengucapkan:
“Kunikahkan engkau dengan anakku si fulanah dengan mahar sekian.”

Maka calon suami dapat menjawab dengan berbagai lafaz, selama maknanya tetap menunjukkan penerimaan akad, seperti:
“Aku terima menikahi si fulanah dengan mahar tersebut.”

  1. Mabadi Ilmu Fikih: Singkat dan Praktis
    Sebaliknya, Mabadi Ilmu Fikih hanya memberikan satu contoh lafaz yang paling umum digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa kitab ini lebih fokus pada pemahaman dasar tanpa membebani pembaca dengan banyak variasi.

Pendekatan ini lebih praktis untuk masyarakat yang ingin memahami fikih pernikahan dengan cepat dan mudah.

Pelajaran dari Dua Kitab: Hukum Islam yang Adaptif

Dari perbandingan ini, kita bisa belajar bahwa fikih Islam tidaklah kaku. Para ulama dari berbagai generasi berusaha menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang sesuai dengan konteks zamannya.

Syekh Muhammad Arsyad menulis Kitabun Nikah dalam konteks Kesultanan Banjar, yang saat itu sangat menekankan aspek hukum Islam secara detail. Sementara Haji Muhammad Sarni menyusun Mabadi Ilmu Fikih dalam situasi yang lebih modern, di mana pembelajaran Islam mulai mengalami penyederhanaan agar lebih mudah dipahami masyarakat luas.

Meski begitu, kedua kitab ini tetap berpegang pada prinsip dasar Islam dalam pernikahan, yaitu kesahihan akad, kejelasan saksi, dan keabsahan ijab qabul.

Kesimpulan: Islam Itu Mudah, tapi Tidak Bisa Asal-asalan

Islam mengajarkan keseimbangan—tidak mempersulit, tetapi juga tidak membiarkan segala sesuatunya berjalan tanpa aturan. Dalam fikih pernikahan, ada ruang fleksibilitas, namun tetap dalam batasan yang telah ditetapkan syariat.

Bagi yang ingin mendalami fikih dengan detail, Kitabun Nikah bisa menjadi referensi utama. Sementara bagi yang ingin memahami dasarnya dengan cepat, Mabadi Ilmu Fikih bisa menjadi pilihan yang lebih praktis.

Pada akhirnya, menikah bukan hanya tentang momen sakral di depan penghulu, tetapi juga tentang perjalanan panjang setelahnya. Setelah akad, datanglah babak baru yang penuh pelajaran—dari membagi tugas rumah hingga memahami bahwa pasangan punya definisi “rapi” yang berbeda.

Semoga kita semua bisa menjalani pernikahan yang tidak hanya sah secara syariat, tetapi juga penuh sakinah, mawaddah, dan rahmah dalam setiap langkahnya. Karena pada akhirnya, pernikahan bukan hanya tentang bersanding di pelaminan, tetapi juga tentang tetap bersama di segala keadaan.

*) Mahasiswa Magister Hukum Keluarga – Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin

Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Rujuk dalam Kitab Melayu Banjar Kitabun Nikah dan Mabadi Ilmu Fiqih

Suatu hari, seorang lelaki menyesali keputusannya menceraikan istrinya. Masih dalam masa iddah,...

Li’an: Sumpah Dahsyat yang Memisahkan Suami-Istri Selamanya!

Dalam Islam, menuduh seseorang berzina tanpa bukti bukanlah hal yang bisa dianggap...