BANJARUPDATE.COM, BANJARMASIN – Pagi Rabu, 3 September 2025, Aula Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin tampak lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa, dosen, hingga aktivis lintas agama berdatangan, memenuhi kursi yang berjajar rapi. Di depan pintu, sebuah meja tamu dengan map berisi daftar hadir dan tulisan Bedah Buku menyambut setiap undangan, menandai acara penting hari itu. Gelaran ini terselenggara berkat kolaborasi tiga pihak: Fakultas Syariah UIN Antasari, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalimantan Selatan, dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Antasari.
Buku yang dibedah adalah karya Drs. H. M. Ilham Masykuri Hamdie, M.Ag., dosen Fakultas Syariah sekaligus Ketua FKUB Kalimantan Selatan. Sosok yang juga pernah aktif di MUI dan Baznas Kalsel ini dikenal luas karena kiprahnya dalam dialog antarumat beragama.
Sambutan Tuan Rumah
Dekan Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin, Dr. Hj. Amelia Rahmaniah, MH, membuka acara dengan sambutan hangat sebagai tuan rumah. Ia menekankan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) layak terus dijelaskan karena memiliki signifikansi dan relevansi tinggi bagi kehidupan beragama, meski kerap dianggap kontroversial.
“Fakultas Syariah patut bersyukur memiliki dosen seperti Drs. H. M. Ilham Masykuri Hamdie, M.Ag.,” ujarnya, “yang bukan hanya mendalami pemikiran Cak Nur, tetapi juga aktif dalam dialog antaragama di tengah masyarakat.”
Buku dari Kegelisahan
Ketika mikrofon berpindah ke tangan penulis, Pak Ilham memulai dengan kisah personal. Buku ini, katanya, merupakan edisi revisi dari tesis S2 yang ia tulis hampir dua dekade lalu di Pascasarjana IAIN Antasari. Buku ini diberinya judul “Sufisme dan Pluralisme: Membangun Harmoni Antar Agama melalui Pemikiran Nurcholish Madjid”.
“Buku ini lahir dari kegelisahan saya melihat hubungan antaragama yang penuh gesekan. Saya juga yakin aktivis forum dialog antar umat beragama harus bertindak dengan landasan intelektual yang jernih,” ujarnya.
Pak Ilham menekankan bahwa pluralisme sering dicerca dan disalahpahami, padahal sejatinya ia berakar kuat dalam tradisi Islam, terutama dalam tasawuf. Mengutip pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang memandang pluralitas agama sebagai sunnatullah, ia menyitir ayat Al-Maidah 48 sebagai landasan dialog antarumat beragama: manusia diminta berlomba-lomba dalam kebaikan, sementara kebenaran hakiki dikembalikan kepada Allah.
“Pesan ayat ini jelas,” ujarnya, “kita diajak untuk berbuat baik—baik sendiri maupun bersama-sama dengan pihak lain—tanpa perlu mempersoalkan perbedaan agama. Keyakinan adalah ranah pribadi, dan biarlah Allah yang memutuskan di Hari Akhir.”
Apresiasi dan Tafsiran Pembedah
Giliran dua pembedah memberikan tanggapan. Dr. M. Zainal Abidin, M.Ag., Ketua LP2M UIN Antasari Banjarmasin membuka komentarnya dengan ucapan terima kasih kepada penulis. “Buku ini sangat runtut dan sistematis. Ada kegelisahan, ada tinjauan historis, ada geneologi pengetahuan Cak Nur. Menurut saya, Pak Ilham ini Cak Nur-ian garis keras,” katanya, disambut tawa audiens.
Ia menegaskan bahwa pluralisme bukanlah gagasan asing. “Islam sudah mempraktikkannya sejak Piagam Madinah. Islam adalah agama fitrah yang selaras dengan nilai kemanusiaan, agama rahmatan lil alamin.”
Pembedah kedua, Dr. Darius Dubut, MM., menyoroti sisi spiritual dari karya ini. Ia menyebut gagasan Ilham sebagai “Teologi Cinta.” Dengan nada tenang ia berkata, “Agama-agama itu seperti sungai yang berbeda-beda, tapi semuanya bermuara pada laut yang sama. Itu bukan relativisme, melainkan pengakuan terhadap kedalaman spiritual yang melampaui bentuk formal.”
Dialog yang Menghangat
Sesi tanya jawab membuat suasana semakin hidup. Mahasiswa dan dosen silih berganti mengajukan pertanyaan, mulai dari isu sensitif perkawinan beda agama hingga penerapan pluralisme dalam hukum.
Seorang mahasiswa mengaku khawatir pluralisme akan mengaburkan identitas agama. Menanggapi itu, Ilham menjawab tegas, “Pertanyaan seperti ini muncul karena kurang membaca. Perbedaan tafsir hukum seringkali lahir bukan dari sentimen, melainkan dari lemahnya literasi.”
Dr. Zainal menimpali dengan perspektif filsafat Islam. Menurutnya, tidak semua orang bisa diajak bicara pluralisme dengan cara yang sama. “Bagi awam cukup retorika, bagi teolog dengan dialektika, sementara filsuf perlu bukti dan data. Pendekatannya harus disesuaikan,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Darius membawa diskusi ke ranah personal. Ia berkisah tentang keluarganya yang hidup dalam perbedaan keyakinan namun tetap saling menopang. “Abang saya seorang Muslim yang sudah menunaikan ibadah haji. Beliau yang membiayai saya sekolah Teologi Kristen,” tuturnya. “Adik saya juga seorang hajjah. Ketika sedang berhaji dan berumrah, kebetulan bertepatan dengan Hari Natal, ia menelepon saya dari Tanah Suci untuk mengucapkan Selamat Natal.”
Darius lalu berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Apa yang membuat itu semua bisa terjadi kalau bukan cinta?” Kalimat itu seketika membuat ruangan hening, meninggalkan kesan mendalam bagi para peserta.
Menghidupkan Warisan Cak Nur
Diskusi sepanjang siang itu berulang kali kembali pada sosok Cak Nur—tokoh yang dianggap mengembangkan wacana pluralisme dari sudut pandang Islam di Indonesia modern. Dari gagasan kalimatun sawa hingga pengaruh Ibnu Arabi dan Al-Ghazali, Cak Nur dipotret sebagai jembatan antara modernitas dan pemikiran tradisional.
Moderator Dr. Wahyuddin, M.Si. menutup acara dengan catatan reflektif. “Cak Nur menjelang akhir hayatnya menjadi sangat sufistik, sebagaimana terlihat dari ceramah-ceramah dan tindakannya mengunjungi Abah Anom, Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya. Dan hari ini, kita diajak Pak Ilham untuk menyelami warisan itu lebih dalam.”
Bedah buku pun berakhir, namun diskusinya seakan masih menggantung di udara. Pesan utama dari forum itu sederhana tapi mendalam: pluralisme bukan relativisme, melainkan sikap teologis yang lahir dari iman, literasi, dan cinta.
