Home Opini Beribadah Puasa Sambil Berfilsafat Stoa
Opini

Beribadah Puasa Sambil Berfilsafat Stoa

Yunizar Ramadhani. Foto-Istimewa
Yunizar Ramadhani. Foto-Istimewa

Filsafat Stoa merupakan tradisi filsafat kuno yang mengajarkan bagaimana menjalani hidup dengan mengendalikan pikiran dalam mempersepsi realitas. Sementara ibadah puasa dalam Islam adalah ritual agama yang mengajarkan pengendalian hawa nafsu. Mungkinkah keduanya kita terapkan berbarengan?

Yunizar Ramadhani, Guru Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri Martapura, Kalimantan Selatan.

 

Hampir setiap hari sebagian besar kita merasakan suasana seperti berada dalam perang. Hari-hari dipenuhi oleh rasa tegang, cemas, takut dan gelisah karena hidup kita anggap sebagai persaingan dan perlombaan. Kita berlomba satu sama lain dalam hampir semua hal. Kita bersaing untuk meraih keuntungan ekonomi, kehormatan diri, klaim kebenaran, kemasyhuran, kekuasaan dan pengakuan identitas. Kita masih bisa menambah daftar ini.

Karena semua itu menyangkut hidup, bukan perlombaan dalam olahraga, setiap persaingan cenderung membuat hari-hari terasa tegang, menakutkan, penuh rasa khawatir, cemas dan gelisah. Layaknya perang, persaingan dalam hidup juga menyisakan korban-korban sampingan. Hubungan sosial menjadi rusak, hubungan antar masyarakat juga jadi retak. Korban yang paling menderita adalah diri kita sendiri.

Keadaan ini lantas memberi kesempatan bagi filsafat Stoa. Meski tradisi kuno, filsafat Stoa tampak relevan untuk memecahkan segala persoalan masyarakat modern. Demikian kiranya gagasan Henry Manampiring ketika ia menulis buku berjudul Filosofi Teras yang ternyata laris manis itu.

Filsafat Stoa berawal dari Zeno, kemudian dikembangkan oleh para filsuf Yunani lainnya seperti Seneca, Epictetus dan yang paling terkenal, Marcus Aurelius sang kaisar Romawi. Seperti kami singgung di awal tulisan ini, filsafat Stoa merupakan penawar bagi segala gundah dan kegelisahan.

Cara kerja filsafat Stoa berporos pada penggunaan nalar atau rasio. Bagaimanapun ia adalah tradisi filsafat. Nalar berfungsi memberi pertimbangan rasional terhadap pengalaman kita. Itu meliputi setidaknya dua langkah utama: pertama, memilah mana yang dapat kita kendalikan dan mana yang tidak dapat kita kendalikan dan dengan itu, kedua, mengubah persepsi kita terhadap realitas.

Ambillah satu contoh. Kita tentu ingin karir kita langgeng bahkan menanjak. Untuk itu kita melaksanakan tugas-tugas yang diberikan. Namun dunia ini penuh persaingan. Adakalanya kita menang dan kadang kita kalah. Kita tidak dapat mengendalikan hasil dari usaha kita. Di tengah persaingan kita sering merasa cemas mengenai bagaimana nasib kita di antara dua kemungkinan itu.

Seperti halnya perlombaan, keberhasilan terwujud bukan hanya karena satu faktor. Kemenangan tidak mesti diraih semata karena usaha. Boleh jadi pesaing kita mengundurkan diri atau gagal memaksimalkan usahanya. Begitu pula kekalahan. Dalam persaingan terkadang ada pesaing yang menggunakan cara-cara yang tidak sehat. Boleh jadi ada orang yang dengki lalu menyebar fitnah supaya kita gagal.

Jadi nasib, isi hati dan perilaku orang lain tidak dapat kita kendalikan. Tapi kita bisa mengendalikan usaha kita. Kita bisa membuat rencana kerja, menganalisa kekuatan dan kelemahan kita dan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.

Dengan itu kita tidak perlu merasa jumawa ketika kita menang. Kita juga tidak perlu merasa kecewa dan gundah ketika kalah. Toh kita sudah berusaha dengan sebaik-baiknya.

Namun ini bukan berarti kegelisahan hilang sepenuhnya karena suasana peperangan masih terasa. Untuk itu kita perlu mengubah persepsi kita terhadap dunia kerja. Apabila selama ini kita menganggap karir adalah suatu perlombaan yang ternyata hanya menyisakan kegelisahan, kini pekerjaan kita anggap sebagai pengabdian kepada masyarakat. Mengapa? Karena memang itulah esensinya.

Jadi jika selama ini kita merasa gelisah dalam pekerjaan dan hidup kita secara keseluruhan, itu karena persepsi kita melenceng dari esensinya. Kelirunya kita dalam mempersepsi realitas disebabkan emosi negatif dan hawa nafsu telah mengambil-alih nalar. Nalar atau rasio, karena itu, harus berperan lebih banyak ketimbang emosi negatif dan hawa nafsu.

Dengan demikian, filsafat Stoa menyajikan cara menjalani hidup berdasarkan kebijaksanaan, yakni dengan mengendalikan hawa nafsu lewat penggunaan nalar. Pada sisi ini kita dapat melihat betapa filsafat Stoa selaras dengan hakikat puasa.

Puasa adalah ibadah yang bertujuan mengendalikan hawa nafsu. Upaya tersebut mewujud dalam bentuk menahan lapar dan haus. Para ahli dari pelbagai bidang ilmu telah menjelaskan mengapa pengendalian hawa nafsu penting dan buat apa berlapar-lapar puasa. Penjelasan paling sederhana kira-kira sebagai berikut:

Hawa nafsu merupakan energi yang Allah telah anugerahkan kepada hewan dan manusia. Energi inilah yang membuat keduanya mampu bergerak dan bertindak. Namun hawa nafsu cenderung membawa kepada keburukan (QS. 12:53) sehingga mesti dikendalikan.

Lalu mengapa pengendalian hawa nafsu harus dilakukan dengan menahan makan dan minum? Keinginan untuk makan dan minum merupakan kebutuhan paling dasar manusia. Psikologi Humanistik dengan “piramida kebutuhan”-nya membenarkan ini. Agama memandang keduanya sebagai simbol segala hasrat.

Melalui puasa agama mengirim pesan agar kaum beriman melatih pengendalian hawa nafsu, dimulai dengan mengendalikan hasrat makan dan minum. Apabila seseorang telah mampu mengendalikannya, ia akan punya modal keterampilan jiwa untuk mengendalikan hasrat-hasrat lainnya, seperti hasrat akan kekuasaan, kehormatan dan cinta pada makhluk.

Hasrat-hasrat itu harus terus dikendalikan sehingga yang tersisa hanyalah hasrat tertinggi, yakni hasrat rohaniah yang puncaknya adalah Tuhan. Tuhan adalah sumber segala kebaikan, maka menuju kepada-Nya adalah esensi kehidupan. Bagi para filsuf-sufi bahkan Tuhan adalah Eksistensi Sejati, sementara makhluk-makhluk hanyalah manifestasi dari eksistensi-Nya.

Apabila hawa nafsu menguasai diri, jiwa akan dihinggapi penyakit-penyakit. Nalar (al-‘aql) termasuk bagian dari jiwa, sehingga tatkala hawa nafsu berkuasa nalar tunduk padanya. Hasilnya pikirkan hanya akan mempersepsikan keburukan-keburukan mengenai realitas. Karena itulah mengendalikan hawa nafsu berarti juga mengendalikan pikiran.

Di sinilah letak keselarasan antara filsafat Stoa dan ibadah puasa, yakni pengendalian diri. Apabila filsafat Stoa fokus pada penggunaan nalar, ibadah puasa berpusat pada pengendalian hawa nafsu. Namun keduanya punya target yang sama, yaitu hilangnya kegelisahan dan meraih kehidupan yang luhur. Karena itu, kita bisa beribadah puasa sambil menerapkan filsafat Stoa.

Filsafat Stoa tumbuh di Yunani sekitar abad ke-3 SM, sementara ibadah puasa dalam Islam disyariatkan pada tahun ke-2 H/ abad ke-7 M. Al-Qur’an menyatakan bahwa ibadah puasa telah “disyariatkan kepada umat-umat sebelum kamu” (QS. 2:183).[]

Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Wadai; Rasa yang Tertinggal   

Kata wadai pasti tak populer dalam pergaulan nasional. Tapi bagi yang berasal...

Ketika Orderan Fiktif Menguji Kesabaran Driver Ojek Online

Hujan reda, menyisakan genangan yang memantulkan cahaya kota. Ibnu, seorang driver ojek...

Banua ‘Asa’ Surga

Kalimantan, disebut-sebut berasal dari bahasa sangskrit kalamanthana. Penduduk lain menyebut pulau yang...

Riduan Iman; “Tata Kota” yang Hilang

RIDUAN Iman adalah Wali Kota Banjarmasin ke-6 periode 1971 – 1973. Beliau...