Home Opini Ketika Orderan Fiktif Menguji Kesabaran Driver Ojek Online
Opini

Ketika Orderan Fiktif Menguji Kesabaran Driver Ojek Online

Ilustrasi, driver ojek online. Foto: Kompas Print
Ilustrasi, driver ojek online. Foto: Kompas Print
Nor Ahmad Muharam
Oleh: Nor Ahmad Muharam

Hujan reda, menyisakan genangan yang memantulkan cahaya kota. Ibnu, seorang driver ojek online, menepi di pinggir jalan, mengusap wajah letihnya. Seperti malam-malam sebelumnya, ia menunggu rezeki yang mungkin datang lewat notifikasi di ponselnya.

Sebuah pesanan masuk—Rp200.000. Tanpa ragu, ia bergegas ke restoran, membayar pesanan dengan uangnya sendiri, lalu melajukan motor ke alamat tujuan.

Namun, setibanya di sana, rumah itu sunyi. Pintu diketuk, nama dipanggil, telepon berulang kali dihubungi—semua tanpa jawaban. Lima belas menit. Tiga puluh menit. Satu jam. Hanya keheningan yang menemani.

Ia menghela napas panjang. Ia telah ditipu.

Dengan langkah berat, ia membuka aplikasi, melaporkan kejadian ini. Tak terlalu berharap, hanya upaya terakhir. Lalu, ponselnya bergetar.
“Pesanan dibatalkan. Saldo Anda telah dikembalikan.”

Ibnu menatap layar. Napasnya sedikit lega. Malam ini, ia masih bisa pulang tanpa tangan kosong. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada rasa jengah yang tak bisa diabaikan. Berapa lama lagi para driver harus menghadapi kejadian seperti ini?

Ancaman Orderan Fiktif bagi Driver Ojek Online

Orderan fiktif bukan sekadar kesialan sesaat, tetapi gambaran nyata tentang betapa rentannya para driver dalam ekonomi digital yang belum sepenuhnya melindungi mereka.

Beberapa beruntung, seperti Ibnu, berhasil mendapatkan kembali uangnya. Namun, tak sedikit yang harus menelan pil pahit karena gagal mengajukan klaim akibat kurangnya bukti atau karena perusahaan aplikasinya tidak perhatian pada isu orderan fiktif. Mereka terpaksa menerima kenyataan, membawa pulang belanjaan yang tak pernah mereka pesan untuk diri sendiri.

Dalam penelitian lapangan yang penulis lakukan, delapan dari driver ojek online yang diwawancarai berpengalaman menghadapi orderan fiktif. Hasilnya, tujuh dari delapan driver berhasil mendapatkan kembali uang mereka setelah melaporkan kejadian tersebut ke pihak Gojek, perusahaan ojek online terkemuka di Indonesia tempat mereka bekerja. Beberapa driver bahkan bisa menyantap sendiri pesanan yang tak bertuan, sementara yang lain mengikuti prosedur penyumbangan barang ke panti asuhan sebagai syarat pengembalian dana.

Namun, tidak semua kisah berakhir baik. Fahmi, salah satu driver yang diwawancarai, mengalami kerugian karena tidak memiliki struk belanja sebagai bukti transaksi. Tanpa curiga, ia berbelanja di pasar tradisional, di mana penjual jarang memberikan nota, sehingga klaimnya ditolak. Kasus ini menunjukkan bahwa tidak semua driver memiliki perlindungan yang sama terhadap orderan fiktif. Laporan sudah dibuat, harapan ada, tetapi kepastian tidak selalu berpihak pada mereka.

Peneliti sendiri (Ahmad Muharam) juga seorang driver ojek online dan pernah mengalami pemesanan angkutan fiktif. Diminta menjemput penumpang di Basirih, ia tiba di lokasi namun tak menemukan siapa pun. Setelah menunggu, ia pun pergi, menyadari bensin dan waktunya terbuang sia-sia untuk pemesan yang diduganya sekadar iseng.

Sistem perlindungan bagi pekerja ekonomi digital masih memiliki kelemahan. Setiap perusahaan aplikasi memiliki kebijakan yang berbeda, sehingga tidak semua driver mendapatkan perlindungan yang sama. Dalam penelitian ini, mitra Gojek sejauh ini dinilai lebih “terlindungi” dibandingkan platform lain dalam hal pesanan fiktif.

Tanpa aturan yang lebih jelas dan perlindungan yang lebih baik, para driver akan terus menghadapi risiko yang sama. Karena itu, sistem deteksi aplikasi harus ditingkatkan, perlindungan hukum bagi driver perlu diperkuat, dan masyarakat harus lebih sadar untuk tidak menyalahgunakan layanan transportasi online.

Namun, apapun ceritanya, para driver tetap melaju. Mencari nafkah dengan asa di dada bahwa esok akan lebih baik. Bahwa esok, tidak ada lagi yang mempermainkan perjuangan mereka.

Salam hormat bagi para driver ojek online. Semoga Tuhan selalu melindungi kalian.(*)

(*)Artikel ini adalah satu mozaik dari penelitian skripsi Nor Ahmad Muharam dari Prodi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, UIN Antasari. Disusun bersama dosen pembimbingnya, Ahmad Muhajir, PhD, untuk dipublikasikan di Banjarupdate.com.

Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Beribadah Puasa Sambil Berfilsafat Stoa

Filsafat Stoa merupakan tradisi filsafat kuno yang mengajarkan bagaimana menjalani hidup dengan...

Wadai; Rasa yang Tertinggal   

Kata wadai pasti tak populer dalam pergaulan nasional. Tapi bagi yang berasal...

Banua ‘Asa’ Surga

Kalimantan, disebut-sebut berasal dari bahasa sangskrit kalamanthana. Penduduk lain menyebut pulau yang...

Riduan Iman; “Tata Kota” yang Hilang

RIDUAN Iman adalah Wali Kota Banjarmasin ke-6 periode 1971 – 1973. Beliau...