Home Opini Wadai; Rasa yang Tertinggal   
Opini

Wadai; Rasa yang Tertinggal   

Penulis berkaos putih bersama sahabatnya KH.Khairudin Lc ketua MUI kab.HST saat di warung Sate Kambing Klathak Jejeran Bantul DIY. Foto: Istimewa
Penulis berkaos putih bersama sahabatnya KH.Khairudin Lc ketua MUI kab.HST saat di warung Sate Kambing Klathak Jejeran Bantul DIY. Foto: Istimewa

Kata wadai pasti tak populer dalam pergaulan nasional. Tapi bagi yang berasal dari Banjar atau penduduk Kalimantan, baru mendengar kata wadai maka situ saini sedang menghadapi ajakan yang sulit untuk ditolak. Dan sepertinya, bagi orang Banjar, kata wadai lebih menjanjikan kenikmatan ketimbang kata kue. 

Muhammad Faqih Ridha (penulis adalah penikmat kulinari wadai) 

Setidaknya itu yang penulis rasakan selama tinggal di perantauan. Saat disapa oleh teman-teman “Wuiy Faqih, ada wadai nah!” seperti ada tarikan yang lebih kencang untuk mendekat dibanding tawaran “monggo, ini kue enak lho!”.

Mungkin itulah kenapa ada rumus bahwa makanan tersedap adalah “masakan ibu”. Hidangan rumah di mana kita lahir dan dibesarkan lah titik awal mengenali rasa nikmat.

Masakan rumah berisi ingatan yang kuat akan cita rasa kampung halaman. Varian masakan dari yang ringan hingga makanan berat menjadi bentangan menu yang sepertinya masuk kategori “berdosa” jika sampai lupa.

Wadai ialah sebutan khas orang Banjar untuk kudapan kue. Ada yang kering, juga ada yang basah. Ada yang digoreng, dikukus ada pula dibakar. Dan yang paling dicari tentu saja jenis wadai basah.

Di antara wadai yang paling ikonik ada yang namanya amparan tatak, bingka (berbeda dengan bika atau bikang), roti pisang (jangan membayangkan bentuknya sama seperti yang ada di toko-toko roti), pais sagu, kararaban dan sebagainya, untuk menyebut varian wadai basah di Banjar sana.

Cita rasa dominan deretan menu wadai tersebut adalah manis. Bahkan beberapa sangat manis seperti apam berandam (ada yang menyebutnya apam berahim). Tetapi ada juga yang bercitarasa asin gurih seperti wadai ipau (disebut-sebur sebagai lasagna ala Banjar) dan ada laksa yang berkuah kuning (berbeda dengan laksa Bogor ataupun punya orang Melayu di Malaysia).

Ada satu varian makanan juga yang mungkin bisa dikategorikan sebagai wadai. Sebab di Banjar, makanan ini dianggap cemilan. Tapi di daerah lain justru sebaliknya. Ada yang menyantapnya sebagai sayur mayur, ada juga yang menjadikannya lauk pauk. Artinya dia disuguhkan bersama nasi.

Orang Banjar menyebut cemilan yang dimaksud adalah jaring. Umum orang mengenalinya dengan nama jengkol. Cemilan ini jenisnya basah. Jaring direbus terlebih dulu lalu biasanya digepuk atau digeprek hingga gepeng. Kemudian dibubuhi semacam saos yang terbuat dari bahan utama santan kelapa dan bumbu sedap lainnya. Namanya tahilala (tanpa huruf “T” di belakangnya). Sekilas mirip dengan areh pada Gudeg.

Terkait jengkol ini, penulis memerlukan waktu cukup lama merubah mindset yang sebelumnya makanan “ringan” menjadi makanan “berat”. Olahan nusantara paling populer seperti semur jengkol atau jengkol balado baru bisa penulis santap setelah beberapa tahun di perantauan.

Ada 41 varian olahan wadai. Kenapa 41? Tak pasti ceritanya! Meskipun ada yang mengaitkannya dengan tradisi sesajian orang dulu untuk urusan tertentu sehingga jumlahnya pun ditentukan. Semua jenis wadai ini disuguhkan biasanya pada acara-acara resmi kerajaan atau pemerintahan. Juga digelar di depan pasangan pengantin yang sedang walimahan.

Penulis sendiri tak begitu hapal 41 jenis yang dimaksud. Cuma untungnya, masih ada pegiat warung wadai yang menggelar dagangan 41 ini. Apalagi jika tiba saat seperti sekarang bulan puasa. Hampir setiap kota atau kabupaten di Kalimantan Selatan menggelar Pasar Wadai. Layaknya food festival, pasar tiban musiman ini menjual banyak menu-menu wadai yang kadang sudah jarang ditemui diluar waktu Ramadan.

Meskipun wadai di masyarakat Banjar berbeda dengan daerah lain tapi di hal-hal tertentu juga ada kesamaan. Misalnya jenis kue yang menggunakan media bungkus daun pisang. Di Banjar dinamai pais. Orang Sunda menyebutnya papais. Walaupun terkadang dibedakan jika yang dibungkus adalah lauk pauk seperti ikan atau ayam maka disebut pepes.

Sayangnya, olahan wadai belum semasyhur kue-kue dari suku-suku lain Nusantara. Ada beberapa perantau yang mencoba peruntungan menjual penganan khas Banjar. Namun entah kenapa citarasa yang disuguhkan seringkali jauh dari otentisitasnya. Memori lidah akan rasa aseli kampung halaman pun akhirnya “tertinggal” di seberang sana. Meskipun wadai nampak di depan mata tapi belum mampu membasuh dahaga rindu.

Masakan dan makanan jelas merupakan proses karya budaya masyarakat. Alam dan lingkungan serta tanah tempat berjalan dan bertanam menyumbang kekhususan olahan di balik dapur citarasa.

Pesisir atau pedalaman, tropis atau sub tropis, pegunungan atau lautan, hutan atau gurun menjadi latar belakang dari penampilan karya budaya masing-masing kelompok masyarakat. Kata orang, bumbu bisa berbeda jika sudah berbeda cuaca.

Makan adalah kebutuhan dasar manusia. Makanan sering menjadi kebutuhan guna menyambungkan komunikasi di masyarakat. Mereka bisa akrab dengan saling mengenali makanannya. Bahkan lintas benua.

Proses pertemuan budaya bangsa-bangsa dunia secara tak disadari juga disumbang oleh produk makanan. Walaupun ego sektoral bahwa “makanan kampung ku” lah yang paling enak sering muncul di satu sisi, namun di lain sisi menjadi peneguh akan eksistensi supaya jati diri tak hilang dimakan budaya global. Sederhananya, beda tangan beda rasa!

Sebagai produk budaya, khazanah wadai dan jenis makanan lain milik masyarakat Banjar ini penting menjadi bagian dari pendidikan sejarah budaya. Mata pelajaran bermuatan lokal perlu didorong untuk memasukan kulinari setempat sebagai materinya. Sebab generasi milenial, Y dan Z saat ini sudah dijejeli oleh jenis santapan dari bangsa lain. Bukan tak mungkin jika kita tak mendistribusikan khazanah ini dalam pendidikan lokal maka “rasa itu akan hilang!”.

Ala kulli hal’, Ramadan sudah hampir separo jalan. Itu artinya lebaran Ied Fitri sebentar lagi tiba. Biasanya di Banjar, di hampir setiap rumah ada satu suguhan yang serupa dengan daerah lain. Namanya wadai kelemben. Sama persis dengan kue bolu pada umumnya. Tapi tolong jangan sebut itu “bolu”!. Biarlah anda bilang “Faqih, ini ada kelemben!”. Kenapa? Mohon izinkan ulun menempatkan cita rasa dalam “ruang rindu” untuk tetap tersambung kepada tanah bapak dan ibu.

Minta halal dan minta ridha samunyaan

Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Beribadah Puasa Sambil Berfilsafat Stoa

Filsafat Stoa merupakan tradisi filsafat kuno yang mengajarkan bagaimana menjalani hidup dengan...

Ketika Orderan Fiktif Menguji Kesabaran Driver Ojek Online

Hujan reda, menyisakan genangan yang memantulkan cahaya kota. Ibnu, seorang driver ojek...

Banua ‘Asa’ Surga

Kalimantan, disebut-sebut berasal dari bahasa sangskrit kalamanthana. Penduduk lain menyebut pulau yang...

Riduan Iman; “Tata Kota” yang Hilang

RIDUAN Iman adalah Wali Kota Banjarmasin ke-6 periode 1971 – 1973. Beliau...