Raja Banjar dan Papan Catur

HEADLINE, Opini384 Dilihat

Hari-hari belakang di minggu ini, tepatnya pada 6 Mei 2025, urang Banjar atau masyarakat Kalimantan bilkhusus Bagian Selatan dan Tenggara dikejutkan oleh satu peristiwa yang ‘katanya’ penting untuk disimak bersama. Yaitu dinobatkannya seorang Raja Banjar dengan gelar Sultan Cevi Yusuf Isnendar Al Banjari.

Oleh : Muhammad Faqih Ridha*

Pelantikan dilakukan oleh seorang Menteri dari Kabinet Indonesia Maju (KIM) yang bertempat di Kraton Majapahit, Jakarta (dulunya Batavia).

Cukup menggelitik juga kiranya seremoni ini bagi ulun yang tinggal di perantauan. Apalagi setelah tahu bahwa sosok tokoh yang dinobatkan ini ternyata lahir dan besar justru di wilayah perantauan juga. Bahkan masih satu provinsi dengan domisili ulun. Sang Raja ini di Cianjur dan ulun di Cirebon. Setidaknya itulah informasi singkat nan pendek profil Raja terlantik ini.

Sebagai urang yang bermukim di seberang Kalimantan, ulun tidak terlalu terlibat dengan tema-nama kesejarahan dan kerajaan di sana. Tapi event ini membuat ulun tertarik untuk menelisik. Setidaknya lewat tulisan ini ulun ingin berucap “Izin wahai sepuh, sebagai urang yang lahir dari daerah tutus raja-raja Banjar,ulun umpat bapandir lah!,”

Ulun mencoba memahami “kata kunci” dari peristiwa yang asik ini. Mari dipetik ; Banjar, Penobatan Raja, Kebudayaan, Menteri Kebudayan, Kraton Majapahit, Al – Banjari.

Pertama saat beredar peristiwa ini ulun mencari informasi dari portal berita online. Bunyi kalimatnya hampir serupa bahwa Menteri Kebudayaan menobatkan Pangeran Cevi Yusuf Isnendar sebagai Raja Pemangku Adat Kebudayaan Daerah Banjar Kalimantan.

Karena pelantikan dilakukan oleh seorang menteri maka ulun pun mengulik lebih jauh lagi, apa dasar hukum atau legalitas yang digunakan untuk menimbang dan memutuskan. Apakah menggunakan PP (peraturan pemerintah) atau Permen (peraturan menteri) atau jangan-jangan menggunakan Kepres (Keputusan Presiden)?

Disamping itu, ketentuan daerah yang menyebut Banjar Kalimantan ini pun masih buram. Sebab wilayah negara tetangga Malaysia dan Brunei Darussalam pun ada di pulau Kalimantan. Dan urang keturunan zuriyat Banjar banyak tersebar di sana. Apakah itu mencakup seluruh Kalimantan atau hanya bagian selatan saja?

Kedua, penobatan yang dilakukan di Batavia alias Jakarta ini berada diluar “yurisdiksi” Banjar & Kalimantan. Cuma katanya Gubernur Kalimantan Selatan terpilih mendukung dengan mengutus pejabat Asisten Daerah menghadiri acara tersebut. Di sini juga menyisihkan tanya. Kenapa di Batavia? Jika konsep Kerajaan dulu sebagai ejawantah titah “Langitan” Kalimantan, maka urusan “Kabhumian”-nya pun semestinya di Kalimantan terutama Selatan. Bukan di Pulau Jawa.

Gara-gara masalah kedua tadi pikiran ulun melompat masuk ke masalah ketiga. Penobatan dilaksanakan di sebuah tempat yang dinamani “Kraton Majapahit” yang terletak di Batavia.

Meskipun, sejarah menyebut bahwa situs kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara ini berlokasi di pulau Jawa bagian timur. Sepertinya tasulisihnya “nalar historis” ini berimbas pada laku praksis penobatan yang bisa kita nilai “melenceng”.

Mari kita perhatikan. Jikalau mau mempertemukan kesesuaian era “Majapahit” dengan wilayah kekuasaan yang ada di Kalimantan Selatan seharusnya dengan Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dan Negara Daha (Kandangan). Majapahit tak bertemu Banjar. Sebab Banjar berhubungan politik dan perdagangan dengan Kesultanan Demak. Dan Demak adalah periode kekuasaan paska runtuhnya Majapahit.

Tapi ada yang unik. Masalah-masalah tersebut tadi seperti mendapatkan “pembenaran” dengan memperhatikan gelar yang diberikan. Raja disebut “Sultan” dengan sandang nisbat “Al-Banjari” di bagian belakang nama.

Sejarah mencatat bahwa penggunaan nisbat asal daerah seseorang sebenarnya dikhususkan bagi dia yang sedang berada di manca nagari alias luar daerah atau luar negeri. Misalnya, Datu Kelampayan yang masyhur dengan Syekh Arsyad Al – Banjari saat beliau sedang menuntut ilmu dan mengajar di Tanah Makkah Al Mukarramah. Begitu juga Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi (berasal dari Banten/Jawa).

Artinya, Sultan terlantik ini memang tidak tinggal di tanah Banjar sana. Sehingga harus menggunakan nisbat “Al Banjari” untuk menegaskan validitasnya sebagai aseli urang Banjar. Dan repotnya tak ada satu pun Raja dari Kesultanan Banjar yang bernisbat gelar “Al-Banjari”. Bahkan kakek buyut dari sang raja terlantik ini rasa-rasanya tidak dikenali dengan nama semisal “Pangeran Hidayatullah Al Banjari”.

Lantas, kenapa ulun menjuduli opini ini dengan papan catur? Mari kita kembali ke masalah pertama. Lebih tinggi mana kedudukan Raja atau Menteri? Rasanya semua sepakat bahwa raja tidak dilantik oleh seorang pejabat menteri. Sebab raja adalah pemimpin tertinggi. Maka yang berwenang melantiknya adalah dewan kerajaan di atasnya. Karena itu, bisa jadi penobatan ini bukan lah ketetapan hukum formal ketatanegaraan tapi ketentuan permainan politik catur sahaja.

Di papan catur lah kita melihat keluasan langkah sebuah bidak yang bernama menteri. Dia bisa bergerak kemana saja terkecuali langkah gerak kuda. Sedangkan raja hanya boleh bergerak satu langkah maju, mundur dan kesamping kanan kiri.

Pikiran ngawur tapi kayaknya mengena menari-nari di kepala sewaktu ulun melihat papan catur. Entah kenapa posisi “raja” di papan catur jika dipegang putih berada pada E-1, sedangkan dipegang hitam pada posisi E-8. Adapun posisi “menteri” di sampingnya. D-1 untuk putih dan D-8 untuk hitam.

Kenapa posisinya bisa begitu? Hanya pencipta permainan papan catur yang tahu. Tapi ulun coba tebak dengan kayfiyat “utak atik gathuk”. Metode berpikir ini kayaknya cukup ampuh untuk membaca fenomena ngawur yang berkembang.

Begini, huruf E itu di Jawa Barat adalah plat nomer kendaraan untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya atau yang biasa disebut dengan wilayah 3 Cirebon. Meliputi Indramayu Majalengka Kuningan atau Ciayu Majakuning. Adapun huruf D untuk wilayah Bandung dan sekitarnya. Nah,pertanyaannya Cianjur menggunakan apa? Ternyata huruf nya adalah F. Dan F adalah posisinya Gajah yang pola geraknya adalah diagonal alias berjalan miring.

Memang sih, hingga hari ini di Jawa Barat, Cirebon lah wilayah “raja” dan Bandung wilayah “menteri”. Entah takdir apa yang membuat ulun justru terdampar di Cirebon bukan Cianjur (sekalian umpat membandingakan).

Di luar itu berarti alat dan bawahan mereka berdua. Apalagi “gajah” jelas sudah adalah “tunggangan” perang selain “kuda”. Siapa yang menunggangi “gajah”? Apakah “menteri” atau “raja”?

Dari papan catur inilah kita bisa pahami bahwa sehebat apapun raja dan menteri, setelah permainan semua bidak pion akan dimasukan kedalam kotak yang sama oleh sang pemilik papan catur.

Semoga wirid setelah sembahyang rawatib kita masih ada : Qulillahumma maalikal mulki tu’thil mulka man tasyaa wa tanzi’ul mulka mimman tasyaa…ilaa akhiriha.

Wallohu a’lam

*Muhammad Faqih Ridha (Urang Banjar tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Lahir di Amuntai, Hulu Sungai Utara, dengan ari-ari tertanam di pesisir Sungai Paliwaram).

Tinggalkan Balasan