Kalimantan, disebut-sebut berasal dari bahasa sangskrit kalamanthana. Penduduk lain menyebut pulau yang katanya berbentuk menyerupai “bebek” ini dengan nama Brunei, Baruna, lalu terpeleset menjadi Borneo. Apapun riwayat penamaan pulau ini, nama yang dikenal secara resmi kemudian adalah Kalimantan.
Oleh: Muhammad Faqih Ridha, Pemerhati Sosial dan Politik.
Hingga era sekarang banyak suku bangsa yang mendiami pulau ini. Yang paling utama tentu saja dari Dayak, Melayu, Banjar disusul Jawa, Bugis dan migrasi suku dari pulau tetangga yang lain. Tetapi bahasa yang digunakan sehari-sehari umumnya adalah Melayu, Dayak dan Banjar. Jadi tak aneh jika saat publik mengenali orang yang berasal dari Kalimantan akan merujuk kepada tiga suku yang disebut terakhir tadi.
Pulau kedua terbesar setelah Papua ini punya julukan juga sebagai pulau seribu sungai. Tetapi yang lebih populer dengan sebutan ini justru Kota Banjarmasin. Kota yang semua wilayah distriknya dilintasi oleh sungai. Yang masyhur adalah sungai Barito dan sungai Martapura.
Ekologi sungai inilah mungkin yang mendorong para pemimpin Banjarmasin menyemangati kota ini dengan semboyan “Kayuh Baimbai”. Maknanya adalah “mendayung bersama”. Satu refleksi bahwa ini memang kota air (sungai). Sehingga spirit kerja bersamanya pun menggunakan kata kerja terkait cara memperlakukan air; mengayuh atau mendayung.
Pada poin ini, sebenarnya ada kesadaran masyarakat Banjar akan pentingnya sungai. Sungai bukan semata aliran air dari hulu menuju hilir. Sungai adalah denyut nadi sosial, ekonomi, budaya dan sejarah bagi Banjar. Karena itu menjaga kelestarian sungai sebagai lingkungan hidup tak melulu soal biota dan flora fauna nya. Tapi juga menjadi identitas peradabannya. Mungkin secara sederhana kita sebut saja sebagai peradaban sungai.
Kalau Banjarmasin berada di muara selatan pulau yang bersentuhan langsung dengan Laut Jawa, di sisi utaranya ada daerah bernama Muara Bahan (Marabahan) yang merupakan titik temu sungai Barito dengan aliran Sungai Negara sehingga juga disebut Barito Kuala. Adapun wilayah lain di Kalimantan Selatan, masuk menuju hulu hingga daerah Tanjung yang dikenal dengan aliran Sungai Tabalong.
Kemudian menyusur ke hilir secara administratif bertemu tiga kabupaten yang dinamai dengan kata “sungai”, Hulu Sungai Utara (Amuntai), Hulu Sungai Tengah (Barabai) dan Hulu Sungai Selatan (Kandangan). Turun ke hilir lagi tiba di Tapin dan Martapura. Konon katanya, daerah² diatas pernah termaktub dalam Kitab Negarakertagama Era Majapahit.
Dalam “mitologi” orang Banjar ada seorang tokoh perempuan yang muncul dari habitat air sungai. Namanya, Putri Junjung Buih. Pada Hikayat Banjar diceritakan sebagai hasil upaya negosiasi Patih Lambung Mangkurat untuk penguatan eksistensi Kerajaan Negara Dipa yang dipercaya berada di daerah Amuntai.
Di lain tempat cerita serupa bisa ditemukan, bahwa di tanah Jawa, terutama dalam “mitologi” Mataram Islam, juga ada tokoh perempuan terkenal yang muncul dari air. Cuma bedanya, ini berhabitat laut. Kita mengenalinya dengan sebutan Ratu Pantai Selatan. Penulis masih mencoba menelaah keterkaitan kedua tokoh perempuan ini meskipun tidak dalam konteks ilmiah.
Narasi sejarah atau pun cerita rakyat yang berkaitan dengan lingkungan air seperti di atas memberikan pesan bahwa sungai adalah hal vital, sesuatu yang krusial untuk dipahami dan dijaga kelangsungannya. Gugusan sungai-sungai tadi layaknya susunan urat nadi dan syaraf yang menopang anatomi manusia.
Sungai adalah karunia Tuhan sekaligus kekayaan alam. Sumber daya yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat. Hubungan tak terpisahkan antara manusia dengan lingkungan alamnya ini pada perjalanan lanjutannya yang akan menentukan ketahanan hidup, eksistensi serta kemajuan budaya.
Begitu bermaknanya sungai, dalam Islam diyakini, Tuhan memberikan janji bahwa Surga nanti akan dialiri oleh sungai-sungai abadi yang tak akan pernah berhenti (tajrii min tahtihal anhaar khaalidiina fiiha abadan). Jika dilihat dari sisi antropologi masyarakat jazirah Arab, janji indah berupa sungai adalah oase superlative di tengah alam gurun mereka yang sangat kesulitan air.
Akan berbeda jadinya dengan orang-orang di daerah Kalimantan yang dalam fokus tulisan ini adalah Banjar. Dulu rumah-rumah penduduk berjajar (ada yang menyebutnya berbanjar) di atas sungai. Sekarang pun di beberapa kampung masih bisa kita lihat. Seluruh aktifitas masyarakat melalui sarana aliran sungai. Dengan kata lain, highlight atau cuplikan kehidupan surgawi sudah dinikmati orang Banjar di aras dunia.
Banua, adalah sebutan orang Banjar untuk kampung halaman. Panorama “separo surga” dengan keberadaan sungai-sungainya seharusnya bisa meneguhkan keyakinan bahwa buah keimanan bukan saja bisa kita raih di alam akhirat. Tapi di kehidupan dunia ini pun kita bisa menikmatinya.
Banua serasa surga adalah nikmat Tuhan yang harus kita jaga. Bersamaan dengan itu kita bertanggungjawab menjaga asa dan cita-cita bahwa kampung halaman ini bisa menjadi surga bagi anak cucu kita.
Tentunya, tidak bisa tidak dengan memelihara kelestarian lingkungan dan alam. Singkat kata, menjaga sungai berarti menjaga iman. Sebaliknya,merusaknya bisa mencederai keimanan kita. Allohumma inna nas aluka ridhaka wal jannah, Yaa Allah kami memohon ridhaMu dan ganjaran surga!
Marhaban yaa Ramadan…
Leave a comment