RIDUAN Iman adalah Wali Kota Banjarmasin ke-6 periode 1971 – 1973. Beliau memimpin kota berjuluk Seribu Sungai ini saat Orde Baru belum lama memulai perjalanan panjang rezimnya.
Oleh: Muhammad Faqih Ridha, Pemerhati Politik dan Sosial
Secara pribadi, saya memiliki ikatan keluarga dengan beliau. Sebab Riduan Iman adalah kakak tertua nenek saya dari jalur ibu. “Kai Uban”, begitulah panggilan khas kami untuk beliau. Karena rambutnya yang putih perak menyala layaknya mahkota.
Meskipun terhitung “cucu samping”, namun secara khusus saya merasa memiliki hubungan yang cukup hangat dengan beliau.
Sedari kecil bisa dipastikan mengunjungi Kai Uban adalah di antara spot wajib. Sebab waktu itu mungkin kami sekeluarga yang tinggal agak jauh dari kota Banjarmasin. Yaitu di Pulau Laut Utara, Kotabaru.
Abah dan mama saya selalu transit atau maelangi beliau jika sudah tiba agenda mudik ke Amuntai. Karena itu kedekatan personal pun tumbuh hingga dewasa.
Kedekatan saya secara pribadi justru dimulai saat duduk di bangku menengah atas. Waktu itu saya bersekolah di MAPK/MAKN Martapura. Kebiasaan mengunjungi para tatuha “kai nini” saya teruskan sendirian jika sedang bersinggah ke Banjarmasin. Hingga kemudian merantau kuliah ke Jogjakarta pun saya masih tetap tersambung dan seringnya kami bertemu di ruang kantor beliau di kampus STIENAS Banjarmasin.
Meskipun Kai Uban pernah ikut berjuang di era kemerdekaan tapi beliau sosok yang egaliter. Mau mendengarkan yang jauh lebih muda. Setidaknya pengalamanku berdiskusi bahkan kadang saling gojlokan (orang Banjar sering menyebutnya bahapakan).
Obrolan kami dari soal sejarah perang, politik, ekonomi, pemerintahan bahkan hal-hal mistik. Untuk urusan mistik ini semoga di tulisan lain bisa saya beberkan. Sebab cukup menarik terkait diantara “cara” Kai Uban mengelola Kota Banjarmasin.
Satu waktu saya pernah mengkritik beliau. “Kenapa Kota Banjarmasin nampak runyam begini Kai?” Pertanyaan yang membuat mata beliau nampak tenggelam jauh ke masa lampau.
“Emangnya selama Kai jadi Wali Kota dulu tidak memikirkan konsep desain kota?” sedikit lancang saya imbuhkan tanya lagi.
Kai Uban rupanya tak marah dengan “serangan” saya. Beliau memaklumi tapi juga menyayangkan perjalanan kota Banjarmasin paska kepemimpinannya. Getaran suaranya menyiratkan kenangan yang begitu dalam.
Banjarmasin, menurut beliau belum berwujud kota layaknya kota modern sebagai ibukota provinsi Kalimantan Selatan kala beliau berkuasa.
“Desain tata kota Banjarmasin yang ku siapkan tidak seperti yang kamu lihat saat ini Cu!” keluh Kai Uban. “Cu” adalah sapaan beliau untuk para cucu.
“Aku dulu bekerjasama dengan pemerintah pusat di Jakarta untuk membuat desain konsep tata ruang kota Banjarmasin jangka waktu 25 tahun!” tegas beliau.
Pantas saja Kai Uban tidak marah sewaktu saya kritik. Ternyata beliau memiliki simpanan data untuk menangkisnya. Saya penasaran untuk mencari tahu dimana desain cetak biru tata kota Banjarmasin tadi.
“Aku pernah mencarinya di Kantor PU tapi mereka bilang sudah tidak ada!” kata Kai Uban. Karena desain tadi menurut beliau disimpan di kantor Dinas Pekerjaan Umum.
Entah apakah Kai Uban kemudian melanjutkan komunikasi terkait pembangunan dengan penerusnya di Kotamadya atau tidak, tetapi kenyataan faktualnya menurut beliau konsep tata kota itu tidak terwujud.
Bahkan Kai Uban sebaliknya meminta saya untuk menelusuri “jejak” desain tadi di Kantor Kementerian PU pusat Jakarta.
Sampai saat ini saya belum langsung bertandang kesana. Tapi pernah saya bertanya kepada kolega yang ada di kementerian PU. Dia sendiri ragu jika arsip desain itu masih ada. Kata dia data-data referensi kepustakaan PU untuk di tahun 70-an tidak tersimpan rapi.
Cetak biru tata ruang wilayah kota sejatinya adalah rujukan utama strategi pembangunan. Di dalamnya ada aspek perencanaan hingga pelaksanaan. Dari supra struktur juga infra struktur. Dari hulu ke hilir cita-cita pembangunan kota diletakan dalam konsep besar desain tata ruang ini. Jika terjadi situasi yang tidak baik dan bermasalah di dalam alur pembangunan wilayah maka hal krusial adalah membuka ulang konsep perencanaan tadi. Bisa saja ada kekurangan dan keluputan di dalamnya. Sehingga desain rinci perlu ditinjau kembali untuk diperbaiki.
Akhir-akhir ini misalnya, sampah kota Banjarmasin menjadi isu pelik dalam penanganannya. Sampah bukan sekedar masalah benda yang sudah tak berguna lalu dibuang ke lingkungan (sekitar). Perlu perencanaan matang dan terarah supaya distribusi sampah bisa diatur.
Dari sudut ini sampah adalah problem kelola tata ruang lingkungan. Sepertinya kawan-kawan di level pengambil kebijakan publik perlu menelisik kembali persoalan ini pada sisi planologinya. Bukan sekedar memindah dan memisah sampah berguna dan tak berguna.
Di lain sisi memang perlu ada agenda jangka pendek yang harus segera diambil. Sebab polusi sampah pasti menciptakan ketidaknyaman lingkungan, dari relasi sosiologis hingga medis. Sampah pribadi, rumah tangga hingga industri adalah perkara publik.
Urusan publik bukanlah urusan yang bisa diselesaikan secara sporadis. Kita harus membuat rumusan kebijakan publik terkait penanganan sampah perkotaan.
Cerita raibnya cetak biru desain kota Banjarmasin tadi jelas sangat kita sayangkan. Kebijakan publik terkait pembangunan kota sangat penting bagi pengampu kebijakan. Dokumentasi dan literasi merupakan simpanan data serta memori yang harus dijaga supaya sejarah sebuah wilayah bil khusus kota Banjarmasin bisa dibaca dan dicerna oleh setiap generasi yang berjalan setelahnya.
Semoga kita lebih bisa memberikan perhatian atas berbagai bidang hidup masyarakat. Partisipasi semua pihak akan menjadi penentu bagi keberhasilan tata kelola pembangunan wilayah dan sumber daya manusia.(*)
Leave a comment