Sambil begayaan, saya memberi tebakan kepada teman-teman mahasiswa asal Kalsel. “Barang apa yang tidak bisa dibeli oleh kita? Bahkan oleh orang sangat kaya sekalipun!” Ada yang menjawab jet pribadi, kapal pesiar yacht, mobil mewah Roll Royce, rumah besar mansion, dan lain-lain. Belum ada jawaban yang tepat. Karena rumusnya simpel, selama masih ada yang mampu membeli berarti bukan kategori barang mahal. “Apa Bang?” tanya mereka. Ku jawab santai “Kereta Api!”
Oleh: Muhammad Faqih Ridha (penulis adalah penggemar kereta api)
Sembari mereka berpikir, saya tanya lanjut “coba tunjukan apakah ada orang paling kaya di Indonesia ini punya kereta api pribadi?” Sebagai anak online mereka lari ke mesin pencari. Hasilnya nihil. Belum tercium jejak orang berduit yang punya properti pribadi jenis kereta api.
Ya, kereta api memang moda transportasi yang “tak terjangkau”, apalagi bagi penduduk Kalimantan! Setidaknya sampai tahun 2025 ini. Kereta Api hanya ada di benak, bayangan dan tayangan. Untuk bisa merasakan pengalaman langsung berkereta mereka harus mengeluarkan biaya berlipat. Mula-mula, mereka bisa memilih pelabuhan laut untuk menaiki kapal atau, mereka pergi ke bandar udara untuk terbang. Yang berada di bagian barat Kalimantan bisa bergeser ke Sumatera. Sedangkan yang di bagian tengah, timur, utara dan selatan bergerak menuju Jawa.
Barulah sesampai di Jawa atau Sumatera, orang-orang tadi bisa menuju stasiun kereta api. Serupa dengan layanan listrik yang hanya dipegang satu perusahaan negara bernama PLN, kereta pun sama. Hanya dikelola oleh satu badan usaha milik negara yang sekarang bernama PT KAI.
Begitulah kira-kira orang Kalimantan ingin naik kereta api. Ribet dan mahal. Kebalikannya bagi yang berada di Pulau Jawa apalagi untuk penduduk Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Kereta api adalah angkutan murah, mudah, aman dan paling tepat waktu.
Sejarah kereta api di Republik ini dimulai paroh kedua abad 19. Dibangun pertama di Jawa Tengah. Kepentingan ekonomi politik Hindia Belanda waktu itu untuk mengangkut barang komoditi hasil bumi serta menjaga konsolidasi hubungan antar wilayah dimudahkan lewat fasilitas kereta api.
Tetapi Hindia Belanda “hanya” concern pada pulau Jawa dan Sumatera saja. Itulah sebabnya kenapa hanya dua pulau ini yang dihiasi oleh jalur kereta api selama lebih dari satu abad. Ditambah sekarang Sulawesi yang baru 2023 lalu memiliki jalur kereta api komersil. Adapun Kalimantan, Papua, Bali dan Nusa Tenggara tidak ada. Atau mungkin kita sebut saja “belum ada” supaya ada spirit optimistik. Siapa tahu?!
Pihak kolonial pasti punya alasan taktis kenapa tidak membangun di pulau-pulau yang tersebut tadi. Untuk pulau Kalimantan misalnya, yang diceritakan adalah karena tanah bergambut yang katanya rawan akan perubahan kestabilan tanah. Alasan yang terdengar ngeles! Kenapa? Belanda punya kemampuan teknologi membangun kota di bawah permukaan laut. Jadi kalau cuma sekadar mengatasi persoalan tanah tidaklah rumit.
Sepertinya, populasi di Jawa dan Sumatera lah di antara yang menjadi pertimbangan ekonomi-politik di mana lalu lintas orang dan barang lebih padat dibandingkan pulau lain. Disamping itu, jalur dagang eksport import masih menggunakan rute Jawa ke Sumatera melintasi Selat Malaka serta ujung Sabang menuju Eropa.
Kereta api adalah alat transportasi dengan jalur sendiri (rel atau track), mandiri (tidak ada kendaraan lain yang bisa masuk ke lintasan rel) dan paling dihormati (karena siapapun harus mengalah jika kereta melintas). Meskipun sudah tidak ada “api” di kereta, sebutan kereta api tetap dipatenkan. Sekarang yang digunakan oleh PT KAI tidak lagi berbahan batubara atau kayu bakar, tetapi bermesin diesel dan listrik.
Seiring zaman, teknologi kereta juga semakin canggih. Yang terkini, Indonesia berpartner Cina mengoperasikan kereta super cepat 350 km/jam rute Jakarta – Bandung (PP) dengan nama Whoosh.
Manajemen perkeretaapian saat ini sudah jauh lebih bagus, lebih profesional dan berorientasi pada kenyamanan penggunanya. Jika ditilik ke belakang, setidaknya medio tahun 80-an hingga dekade awal 2000 adalah masa suram dan amburadulnya layanan kereta api.
Bagi yg tumbuh bergaul di tahun 80 hingga 90-an sedikit banyak mengetahui betapa buruknya wajah kereta api. Dari manajemen, pelayanan, performa bisnis hingga sikap masyarakat yang menaikinya yang terkesan apatis dan sulit diatur.
Praktik kolutif seperti percaloan tiket, kriminalitas di kereta, minimnya keselamatan ditambah kenekatan orang-orang dengan menumpang di atas atap kereta, hingga jadwal perjalanan yang sering tak tepat waktu. Sampai-sampai musisi Iwan Fals menyindir tentang lumrahnya keterlambatan kereta dalam lirik; “biasanya kereta terlambat….dua jam mungkin biasa!”
Penulis dan mungkin juga sebagian pembaca opini ini adalah saksi kerunyaman kereta api kala itu. Sekaligus punya rasa pesimis yang tinggi akan munculnya perubahan. Tetapi dwi windu berjalan ini manajemen kereta bisa membalikan keadaan dan melakukan perubahan substansial hingga komersial.
Saya pribadi sempat tertegun waktu itu “ternyata perubahan bisa terjadi jika tekad kuat, visi tajam, leadership tangguh dan kerjasama semua pihak!”
Kereta Api Indonesia membuktikannya! Titik balik terjadi sewaktu pemerintah menunjuk Ignasius Jonan sebagai Dirut KAI tahun 2009. Di tangan Jonan inilah perubahan besar-besaran dimulai.
Hasilnya, masyarakat sudah tidak lagi melihat performa manajemen dan layanan kereta api seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan, nampaknya semakin ke sini kereta api menjadi pilihan paling diminati.
Apalagi akhir-akhir ini ada kecenderungan penumpang pesawat beralih ke kereta api. Setidaknya kesan itu yang saya amati dari kursi yang selalu ramai cenderung penuh, baik kelas ekonomi maupun eksekutif. Sepertinya untuk trip perjalanan dalam pulau orang semakin melirik kereta api dibanding pesawat.
Kelas ekonomi yang dulu dianggap kelas paling tidak nyaman sudah cerita usang. Rangkaian gerbongnya saat ini ada yg disebut premium dan new generation. Begitu juga kelas eksekutif yang sekarang diklasifikasi layanannya dengan model gerbong variatif. Ada reguler, luxury, priority dan compartment.
Kendati demikian, apapun kenyamanan serta bagusnya kereta api sekarang tetaplah masih menjadi barang asing, sangat mewah dan sulit terjangkau bagi orang di Kalimantan, apalagi untuk orang Banjar.
Cuma ada selentingan katanya 2025 ini akan dimulai pembangunan jalur kereta api di Kalimantan Selatan yang terhubung ke IKN di Kalimantan Timur. Benar atau tidak kita tunggu saja.
Jika ini terwujud setidaknya ada unsur “keadilan” bagi masyarakat bahwa ada pemerataan untuk bisa mengakses, menikmati transportasi massal. Jadi, bukan tidak mungkin lagu anak-anak tentang kereta api akan digubah kembali. Tidak saja “ke Bandung – Surabaya” tapi “tut…tut…tut…ke Banjar – Samarinda”.
Hari ini, entah kenapa saya tertarik menulis pendek tentang kereta api. Mungkin karena saya sering menumpang alat trasportasi “besi ketemu besi” ini. Dari era “gelap”nya sampai “terang” seperti sekarang. Sehingga saya lumayan “awas” melihat gradasi perubahannya.
Dan, di atas rangkaian Kereta Ranggajati, nawaytu mudik dari Bumi Panembahan Senopati menuju Tanah Caruban Nagari. Wilayah yang pernah dipimpin oleh seorang Raja sekaligus Wali bernama Syekh Syarif Hidayatullah atau yang masyhur dengan panggilan Kanjeng Sunan Gunung Jati. Disertai kerendahan hati, ulun mengucapkan Selamat Lebaran Idulfitri 1446 H gasan pian samunyaan.
Ied Mubarak, Minal Aidin wal Faizin, Mohon Maaf Lahir Batin, Kullu ‘Aam wa Antum bi Khair