
Bagaimana caranya seorang istri bisa minta pisah dari suaminya dalam Islam? Salah satu jalannya adalah melalui jalur khulu’ atau talak dengan tebusan. Dalam hukum keluarga Islam, khulu’ terkadang disebut sebagai “talak versi istri”. Artinya, istri bisa mengajukan cerai kepada suaminya—tapi tentu ada syarat dan aturannya. Menariknya, dua kitab lama karya ulama Banjar, Kitabun Nikah dan Mabadi Ilmu Fikih, sama-sama membahas soal ini. Yuk, kita bahas!
Kitabun Nikah dan Mabadi Ilmu Fikih adalah dua kitab fikih karya ulama dari Tanah Banjar, Kalimantan Selatan. Keduanya ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Kitabun Nikah ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1735–1812), sementara Mabadi Ilmu Fikih merupakan karya Haji Muhammad Sarni (1915–1988). Meski berasal dari zaman yang berbeda, di kedua kitab ini ada bahasan mengenai khulu’.
Bagaimana kejadian khulu’?
Inti dari khulu’, sebagaimana disebut dalam kedua kitab ini, adalah perceraian yang terjadi dengan tebusan dari pihak istri. Dalam Kitabun Nikah, pembahasan tentang khulu’ bisa ditemukan di halaman 45–46. Sementara itu, dalam Mabadi Ilmu Fikih, topik ini muncul di Juz 3, halaman 18–19.
Syekh Muhammad Arsyad menjelaskan bahwa khulu’ terjadi jika istri meminta cerai kepada suaminya dengan menawarkan sesuatu sebagai tebusan. Misalnya, istri berkata, “Ceraikan aku, nanti aku kembalikan sepuluh riyal yang dulu kau berikan sebagai mahar.” Kalau suami masih berhutang mahar, istri bisa berkata, “Ceraikan aku, maka mahar yang masih kau hutang itu akan kuanggap lunas (Kitabun Nikah, h. 45).”
Di sisi lain, Haji Sarni memberikan contoh yang sedikit berbeda. Misalnya, suami berkata: “Kalau kamu bayar sepuluh ribu rupiah, kamu bebas dariku” (Mabadi Ilmu Fikih, Juz 3, h. 18).
Dengan demikian, khulu’ bisa diawali kedua belah pihak. Pertama, istri berinisiatif menawarkan tebusan agar suaminya mau menceraikannya. Kedua, istri merespon tawaran talak suami dengan memberikan imbalan tertentu.
Syekh Muhammad Arsyad menjelaskan bahwa khulu’ baru dianggap sah jika istri yang meminta cerai sudah baligh atau cukup dewasa. Namun, jika ia dinikahkan sejak masih kecil dan ingin bercerai (khulu’) sebelum dewasa, maka tebusan itu hanya sah jika disampaikan oleh ayahnya yang bertindak sebagai walinya.
Jika suami setuju mencerai istrinya dengan tebusan, dan dia mengucapkan pernyataan talak, baik talak satu maupun dua, maka berpisahlah mereka. Ini artinya, dalam khulu’, hak untuk menjatuhkan talak masih di tangan suami.
Menariknya, Haji Sarni mencatat bahwa khulu’ boleh dilakukan bahkan ketika istri dalam keadaan haid (Mabadi Ilmu Fikih, Juz 3, h. 19). Hal ini dapat dipahami karena khulu’ merupakan keinginan istri.
Peluang dan cara balikan
Lalu, bagaimana jika suami-istri yang telah bercerai melalui khulu’ ingin membangun ulang rumah tangga mereka? Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari menjelaskan bahwa mereka tidak bisa sekadar rujuk seperti dalam talak raj’i. Meski masih dalam masa iddah, keduanya tetap harus menjalani akad nikah baru dengan mahar yang baru pula (Kitabun Nikah, h. 46). Artinya, keinginan untuk kembali harus diwujudkan melalui proses pernikahan ulang secara sah, tidak cukup dengan ucapan rujuk, apalagi niat saja.
Haji Sarni menyebut bahwa khulu’ berstatus sebagai talak bain sughra (Mabadi Ilmu Fikih, Juz 3, h. 18). Status ini dapat dipahami karena suami yang menerima tebusan dari istrinya biasanya hanya menjatuhkan talak satu atau dua. Oleh sebab itu, pasangan yang bercerai melalui khulu’ masih dapat membangun kembali rumah tangganya jika keduanya menghendakinya, tanpa harus melalui proses yang dalam kitab-kitab fikih berbahasa Melayu sering disebut sebagai “cina buta“—yakni kondisi ketika seorang istri harus menikah dengan pria lain terlebih dahulu, kemudian dicerai, dan setelah selesai masa iddahnya, baru diperbolehkan kembali kepada suami pertama melalui pernikahan yang baru.
Namun terdapat satu situasi yang unik dan jarang terjadi, di mana khulu’ tidak menyebabkan talak bain sughra, melainkan hanya berstatus talak raj’i. Dalam kasus seperti ini, pasangan masih dapat kembali membangun rumah tangga cukup dengan pernyataan rujuk dari suami, tanpa memerlukan akad dan mahar baru.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menjelaskan skenario ini dalam Kitabun Nikah (h. 46). Jika seorang istri belum baligh tetapi sudah terjadi hubungan suami-istri, lalu ia meminta ayahnya sebagai wali untuk menawarkan tebusan kepada suaminya agar menceraikannya, dan suaminya setuju, maka perceraian yang terjadi tidak termasuk talak bain, melainkan talak raj’i. Artinya, suami masih bisa rujuk kembali selama masa iddah, tanpa perlu akad dan mahar yang baru.
Skenario lainnya, misalnya ketika khulu’ terjadi sebelum ada hubungan suami-istri, atau dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa—yang mana ini adalah kasus yang paling umum—maka hal itu termasuk dalam kategori talak bain sughra. Dalam situasi ini, pasangan masih bisa kembali membangun rumah tangga tanpa harus melalui proses “cina buta”; cukup dengan akad nikah dan mahar yang baru saja.
Penutup
Dari tulisan ini, kita jadi tahu bahwa dalam Islam, seorang istri juga punya ruang untuk mengakhiri pernikahan jika memang merasa tak sanggup lagi melanjutkannya—dan itu sepenuhnya sah, selama sesuai aturan. Jalur khulu’ jadi bukti bahwa fikih Islam itu fleksibel dan punya sisi kemanusiaan yang kuat. Menariknya, ulama Banjar pun sudah membahas soal ini sejak lama. Jadi, kalau masih ada yang bilang istri nggak boleh minta cerai, mungkin sudah saatnya mereka buka lagi kitab kuning!
*] Mahasiswa dan dosen Program Magister Hukum Keluarga – UIN Antasari Banjarmasin