
Dalam dunia tasawuf, ada konsep yang sering menjadi perdebatan, yaitu wujudiyah—pemahaman tentang hubungan Allah dan makhluk dalam perspektif keberadaan (wujud). Sebagian orang memahami konsep ini dengan benar, tetapi sebagian lainnya bisa terjerumus ke dalam penyimpangan.
Di satu sisi, ada wujudiyah muwahhid, yaitu konsep yang menyatakan bahwa Tuhan dan makhluk sama-sama memiliki keberadaan, tetapi berbeda dalam tingkat dan hakikatnya. Tuhan adalah keberadaan yang mutlak, sedangkan makhluk hanyalah keberadaan yang bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
Ilustrasinya seperti matahari dan pancarannya—Tuhan diibaratkan sebagai sumber cahaya, sementara makhluk adalah pancarannya. Meskipun tampak berbeda, pancaran tetaplah bagian dari cahaya itu sendiri. Namun, perbedaan antara Tuhan dan makhluk tetap dijaga, sehingga konsep tauhid tidak terganggu.
Di sisi lain, ada wujudiyah mulhid, yang menyamakan Tuhan dengan makhluk, sehingga bertentangan dengan prinsip tauhid.
Mengapa ini bertentangan dengan tauhid? Karena menyamakan Tuhan dengan makhluk berarti menempatkan keduanya pada kedudukan yang setara. Jika Tuhan dianggap setara dengan makhluk, maka konsep ketunggalan dan kemahatinggian Tuhan menjadi rusak, yang pada akhirnya menggugurkan esensi tauhid itu sendiri.
Lalu, apa sebenarnya perbedaan mendasar antara keduanya? Dan apa hubungannya ini dengan tasawuf falsafi? Simak penjelasannya berdasarkan kajian Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Tuhfat al-Râghibîn serta pandangan akademisi tentang konsep wujudiyah.
Wujudiyah muwahhid versus wujudiyah mulhid
Berdasarkan buku Pembuktian Risalah Tuhfat al-Râghibîn sebagai Karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, perbedaan antara wujudiyah muwahhid dan wujudiyah mulhid adalah sebagai berikut:
1. Wujudiyah Muwahhid
- Paham ini masih dalam koridor tauhid, meskipun memiliki kecenderungan sufistik yang tinggi.
- Penganutnya meyakini bahwa hanya Allah yang memiliki wujud sejati, sedangkan makhluk hanyalah keberadaan yang bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Mereka tetap mengakui perbedaan antara Pencipta dan makhluk, sehingga ketunggalan Tuhan tetap terjaga, tanpa menghilangkan batas yang membedakan antara keduanya.
- Tidak menghilangkan syariat dalam praktik keagamaannya.
2. Wujudiyah Mulhid
- Paham ini dianggap menyimpang dan kufur karena mengajarkan bahwa Pencipta dan makhluk adalah satu kesatuan tanpa perbedaan hakikat atau tingkatan. Dengan meniadakan gradasi keberadaan, paham ini mengaburkan batas antara Tuhan dan makhluk, sehingga bertentangan dengan prinsip tauhid.
- Penganutnya berkeyakinan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan, sehingga meniadakan perbedaan antara hamba dan Tuhan.
- Dalam Tuhfat al-Râghibîn, wujudiyah mulhid dikategorikan sebagai kufur zindiq (kesesatan yang nyata). Penganutnya dianggap telah menyimpang dari kebenaran hingga layak dijatuhi hukuman mati, karena pemahaman mereka bertentangan dengan prinsip tauhid dan merusak akidah Islam.
Singkatnya, perbedaan utama antara keduanya terletak pada pemahaman hubungan antara Allah dan makhluk. Wujudiyah muwahhid masih sesuai dengan konsep tauhid, sedangkan wujudiyah mulhid menyimpang karena menyamakan makhluk dengan Tuhan, sehingga dikritik keras oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Hubungan Faham Wujudiyah dengan Tasawuf Falsafi
Selanjutnya, Dr. Muhammad Rusydi, dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora – UIN Antasari Banjarmasin menjelaskan bahwa salah satu bahasan tasawuf falsafi adalah membahas ajaran wujudiyah, baik dalam bentuk muwahhid yang masih dalam batas tauhid maupun mulhid yang menyimpang dari ajaran Islam.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang berlandaskan penjelasan filosofis, terutama konsep metafisika yang membahas tentang wujud (eksistensi). Dalam konteks hubungan antara Allah dan makhluk, pembahasan wujud ini dapat terbagi menjadi dua:
- Jika diterapkan dengan benar, disebut wujudiyah muwahhid.
- Jika diterapkan secara menyimpang, disebut wujudiyah mulhid.
Contoh Perbedaan Wujudiyah Muwahhid dan Wujudiyah Mulhid
- Wujudiyah Muwahhid (benar)
- “Tuhan adalah aku, aku adalah manifestasi Tuhan.”
- Penjelasan: Pernyataan “Tuhan adalah aku” dapat diterima akal dalam makna bahwa Tuhan meliputi segala sesuatu.
- Pernyataan “Aku adalah manifestasi Tuhan” juga benar dalam arti bahwa makhluk hanyalah bayangan dari keberadaan Tuhan atau bergantung mutlak kepada Tuhan, seperti bayangan yang bergantung mutlak pada pemiliknya.
- Wujudiyah Mulhid (menyimpang)
-
- “Aku adalah Tuhan, Tuhan adalah aku.”
- Kesalahan: Pernyataan “Tuhan adalah aku” mungkin masih bisa ditafsirkan dalam makna keberadaan Tuhan meliputi segala sesuatu. Namun, “Aku adalah Tuhan” adalah pernyataan yang membatasi kemutlakan Tuhan, sehingga bertentangan dengan tauhid.
Penutup
Memahami konsep wujudiyah memang bukan perkara mudah. Ada batas tipis antara pemahaman yang tetap dalam koridor tauhid (wujudiyah muwahhid) dan pemahaman yang bisa menyimpang hingga dianggap sesat (wujudiyah mulhid).
Tasawuf falsafi menjadi medan pembahasan konsep ini, tetapi kuncinya tetap pada kesadaran bahwa Allah adalah Pencipta, sedangkan kita adalah makhluk yang bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Salah memahami konsep ini bisa berakibat fatal, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Tuhfat al-Râghibîn.
Pada akhirnya, pencarian spiritual harus selalu berpijak pada ilmu yang benar dan terus menerus berdoa memohon petunjuk-Nya, bukan sekadar pengalaman batin yang tak terarah. Sebab, semakin dalam seseorang memahami makna keberadaan (wujud), seharusnya semakin kuat pula kesadaran bahwa Allah adalah Maha Mutlak, dan kita hanyalah makhluk yang lemah dan fana di hadapan-Nya.
(*) Artikel ini disusun oleh Ahmad Muhajir, Ph.D. (Koordinator Pusat Kajian Banjar dan Melayu – LP2M UIN Antasari Banjarmasin) dan telah diperiksa oleh Dr. Muhammad Rusydi, dosen ahli dalam bidang Tasawuf Falsafi serta peneliti Kitab Tuhfat al-Râghibîn.