Perbedaan Pendapat Bikin Untung Umat

Opini9 Dilihat

Oleh: Yunizar Ramadhani*

Setiap tahun menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri kaum Muslim di Indonesia selalu dihadapkan dengan pertanyaan seperti: “mulai puasa ikut siapa, NU dan Pemerintah atau Muhammadiyah?”, “shalat Id besok atau lusa?”, “mana yang benar, ru’yah al-hilal atau hisab?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis.

Hal itu karena terdapat perbedaan persepsi mengenai teknik penentuan awal bulan Ramadhan dan bukan Syawal. Yang satu berpijak pada metode empirik, yakni melihat secara kasat mata kemunculan hilal (bulan sabit) sebagai penanda awal bulan, sedangkan yang lain menggunakan perhitungan (hisab) matematis. Akibatnya, tak jarang terjadi perbedaan hari pertama berpuasa Ramadhan dan hari perayaan Idul Fitri.

Sebagian besar Muslim memandang miris keadaan dan situasi semacam itu. Apabila perbedaan sholat subuh apakah ber-qunut atau tidak, apakah khutbah jumat menggunakan mimbar atau podium, mungkin dapat ditolerir, namun kegiatan ibadah ritual inti yang besar dan bersifat seremonial seperti puasa Ramadhan dan Idul Fitri seharusnya dilaksanakan seluruh Muslim secara serentak dan khusyuk sebagai wujud persatuan Muslim. Perbedaan praktek dianggap mengurangi keagungan dan kekhusyukan ibadah-ibadah ritual seperti itu, serta menimbulkan rasa malu seakan Muslim tidak bersatu.

Namun demikian, bagi saya perbedaan pendapat dan praktek ibadah, termasuk perbedaan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri, justru memberi keuntungan tersendiri bagi kaum Muslim dan merupakan keunggulan umat Islam. Sebuah Hadis Nabi Saw, yang walaupun dipredikati dha’if jadian (lemah sekali) namun sangat terkenal dan seringkali diungkapkan ketika terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam hukum agama, memperkuat hal itu: “perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat”.

Perbedaan pendapat dalam syari’at agama menguntungkan umat Muslim. Sebab, dengan adanya ragam pendapat itu tersedia beragam alternatif tentang tata cara pelaksanaan ibadah yang bisa disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kemampuan.

Dalam keadaan barisan shalat berjamaah yang cukup renggang, misalnya, anda bisa duduk tahiyat akhir dalam shalat secara tawarruk (duduk dengan melipat kaki kiri ke sisi kanan dan menambatkan jari-jari kaki kanan ke lantai), sebagaimana dituntunkan oleh para ulama mazhab Syafi’i. Namun ketika barisan shalat terasa sangat sesak sehingga duduk tawarruk yang memakan tempat cukup lebar itu tidak memungkinkan, seperti barisan-barisan dekat Ka’bah di Masjid al-Haram, maka duduk dengan menduduki kedua kaki seperti pada tahiyat awal dan duduk antara dua sujud, sebagaimana dipraktekkan pengikut mazhab Hanbali, menjadi alternatif cara melakukan tahiyat akhir yang nyaman.

Saat anda sedang dalam keadaan santai, tidak merasa sedang dikejar kesibukan, lalu ingin melaksanakan shalat, anda bisa berwudhu seperti biasa dengan niat dan prosesinya yang khas. Imam Syafi’i berfatwa bahwa niat adalah syarat sah wudhu, sebab wudhu adalah ibadah yang sama seperti shalat, puasa, thawaf dan lain sebagainya yang harus didahului niat khusus. Akan tetapi ketika anda sedang tergesa-gesa karena jadwal dan tugas-tugas yang padat meminta anda untuk bergerak cepat sedangkan anda tetap wajib shalat, jika tubuh anda sudah bersih, seperti baru selesai mandi sehari-hari, maka anda bisa langsung melaksanakan shalat tanpa harus berwudhu lagi. Ini sesuai dengan fatwa Abu Hanifah (Hanafi) yang menyatakan niat bukan syarat sah wudhu dan wudhu bukanlah ibadah seperti shalat, puasa dan thawaf, melainkan persoalan kebersihan badan. Jadi jika badan sudah bersih, anda sudah dianggap suci. Fatwa Abu Hanifah mengenai wudhu tersebut dengan demikian menjadi pilihan yang memudahkan anda saat sedang sibuk-sibuknya.

Dalam konteks ikhtilaf tentang penentuan awal Ramadhan dan hari raya idul fitri, jika anda, sebagai contoh, seorang yang mapan dalam pekerjaan atau memimpin usaha anda sendiri dalam mencari rezeki sehingga anda bisa menentukan sendiri rencana kerja anda, anda dapat menunggu Sidang Isbat penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal dari Kementerian Agama. Ini berarti anda mengikuti fatwa ahli hukum Islam yang berpijak pada metode ru’yah al-hilal. Namun jika anda adalah pekerja dengan aktivitas yang padat dan agar semua tugas tuntas anda harus merencanakan jadwal kerja jauh-jauh hari, anda boleh mengambil penentuan awal puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri dengan metode hisab. Sebab, ahli hukum Islam yang menggunakan metode tersebut sudah mengumumkan hasil perhitungan jauh-jauh hari pula. Kalau sudah tahu kapan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri, dengan mudah anda bisa merencanakan jadwal aktivitas anda.

Sekarang kita bisa memilih alternatif fatwa yang sesuai dengan keadaan, kebutuhan dan kemampuan kita dalam berbagai masalah keagamaan yang lebih luas, seperti bunga bank, penggunaan parfum beralkohol, jual beli barang pra-pesan (pre-order) dan lain-lain. Pertanyaan yang boleh jadi muncul kemudian adalah: apa dasar kita bisa memilih pendapat para ahli hukum? Bagaimana kita bisa membenarkan semua pendapat itu sehingga kita bisa memilih? Bukankah satu fatwa tentang suatu masalah yang kita anggap benar secara tidak langsung menafikan fatwa-fatwa lain?

Sudah menjadi prinsip yang mapan dalam ilmu hukum Islam bahwa semua hasil daya dan upaya (ijtihad) para ahli hukum berupa fatwa-fatwa hukum itu merupakan pengetahuan yang bersifat dan berada pada tingkatan “praduga” (zhanni). Ini berarti bahwa fatwa-fatwa tersebut memiliki tingkat kebenaran tertentu namun bukan kebenaran yang mutlak. Dengan kata lain, fatwa-fatwa tersebut benar tapi berpotensi kecil salah. Salah di sini bukan terletak pada materi fatwa itu sendiri, melainkan karena suatu fatwa hadir dalam ruang lingkup konteks tertentu yang mempengaruhinya, sehingga ia kadang benar dalam suatu situasi namun tidak cocok untuk situasi yang lain. Karena itu, masing-masing fatwa hukum benar pada dirinya sendiri (li dzatihi) dan boleh saja mengklaim yang lainnya salah, namun secara keseluruhan setiap fatwa adalah benar bersama-sama yang lain (ma’a ghairihi).

Tersedianya ragam fatwa atau pendapat hukum agama menandakan betapa terbukanya penafsiran dan pemahaman terhadap ajaran esensial Islam. Hal ini karena Nabi Muhammad Saw memang “mewariskan” otoritas keagamaan bukan kepada orang atau lembaga tertentu seperti halnya agama lain, melainkan kepada teks, yakni al-Qur’an dan Hadis. Teks tentunya dibaca dan karena itu maknanya hadir dari nalar pembacanya. Walhasil, lahirlah pendapat-pendapat yang berlimpah, bukan hanya tentang hukum agama, tetapi juga pada dimensi-dimensi keagamaan lainnya, yaitu aqidah (teologi), tasawuf dan mistisisme, serta sosial budaya (adab).

Hal inilah yang menjadikan khazanah keilmuan Islam begitu kaya dan menjadi keunggulan umat Islam. Di tengah ketertinggalan Muslim saat ini dibanding masyarakat lain dalam banyak bidang kehidupan, terutama bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan pendidikan, umat Islam patut berbangga dan bersyukur akan kekayaan khazanah keilmuannya, warisan para ilmuwan dan ulama zaman dahulu yang terwujud lewat beragamnya pendapat dan fatwa tentang masalah-masalah agama.

Oleh karena itu, kaum Muslim saat ini hendaknya mensyukuri kekayaan khazanah keilmuannya. Tidak cukup hanya dengan mengenang prestasi Muslim di zaman klasik itu, melainkan memperbaruinya, yakni dengan mengembangkan pemikiran dan pendapat ulama zaman dahulu, lalu menciptakan pemikiran dan pendapat yang baru. Demikianlah kiranya maksud perintah Allah dalam ayat terakhir surah al-Dhuha: “dan adapun terhadap nikmat Tuhanmu, fa haddits, maka perbaruilah”. []

*) Guru Ponpes Darul. hijrah Putri Martapura