
Mungkin ada yang mengira bahwa iddah itu cuma masa tunggu biasa—semacam jeda setelah cerai atau ditinggal mati suami. Padahal, dalam Islam, iddah punya tujuan yang dalam dan penuh makna. Ini bukan sekadar menunggu, tapi ada pesan perlindungan, kehormatan, bahkan kepastian hukum yang disematkan di dalamnya.
Dua ulama dari Kalimantan Selatan—Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Haji Muhammad Sarni—membahas masa iddah dalam kitab fikih berbahasa Melayu. Yang satu sangat rinci sampai ke hitungan hari, yang satu lagi ringkas tapi tetap padat makna.
Apa Itu Iddah?
Iddah adalah masa tunggu yang dijalani perempuan setelah bercerai atau ditinggal wafat oleh suaminya. Tapi jangan anggap ini cuma waktu kosong tanpa makna. Dalam Islam, aturan iddah mengandung maqashid syariah, yang secara spesifik untuk memastikan rahim benar-benar kosong dari kehamilan, menjaga kehormatan perempuan, dan memberi ruang untuk menenangkan diri. Semua ini demi perlindungan bagi perempuan, anak yang mungkin dikandung, maupun calon suami di masa depan.
Dua Pendekatan Ulama Banjar
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari—ulama legendaris yang dikenal sebagai Datu Kalampayan—membahas fikih pernikahan dalam Kitabun Nikah. Haji Muhammad Sarni menulis Mabadi Ilmu Fikih. Mari kita lihat bagaimana kedua tokoh ini menjelaskan hukum iddah.
Kitabun Nikah: Rinci Sampai ke Hitungan Hari
Dalam Kitabun Nikah (Darus Syakirin, hlm. 53–54), Syekh Arsyad menjelaskan iddah dengan sangat detail, bahkan sampai menghitung hari secara presisi:
Iddah Wanita Merdeka:
- Ditalak saat suci: iddah 48 hari dan satu lahzah (sekejap).
- Ditalak saat haid: iddah 47 hari dan satu lahzah.
(Masa suci diperkirakan berlangsung 16 hari; tiga masa suci = 48 hari)
Iddah Wanita Budak (Sahaya):
- Ditalak saat suci: iddah 32 hari dan satu lahzah.
- Ditalak saat haid: iddah 31 hari dan satu lahzah.
Penjelasan ini menunjukkan ketelitian Syekh Arsyad dalam menetapkan masa iddah berdasarkan kondisi biologis perempuan.
Mabadi Ilmu Fikih: Singkat Tapi Padat
Berbeda dari Syekh Arsyad, Haji Muhammad Sarni menyampaikan hitungan periode iddah dengan lebih ringkas namun tetap komprehensif. Gaya penulisan Haji Sarni cocok untuk pembaca yang ingin cepat memahami tanpa perlu menelaah terlalu dalam.
Dalam Mabadi Ilmu Fikih Jilid 3, beliau menjelaskan:
Iddah Wanita Merdeka:
- Pernah haid: tiga kali haid dan tiga kali suci.
- Belum haid atau menopause: tiga bulan.
- Ditinggal mati suami: empat bulan sepuluh hari.
- Belum digauli: tidak ada iddah.
- Hamil: hingga melahirkan.
Iddah Wanita Budak (Jariyah):
- Pernah haid: dua kali haid dan dua kali suci.
- Kondisi lain: setengah dari masa iddah wanita merdeka.
Tabel Perbandingan Iddah dalam Dua Kitab Fikih
Aspek | Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari | Haji Muhammad Sarni |
Nama Kitab | Kitabun Nikah | Mabadi Ilmu Fikih, Jilid 3 |
Istilah untuk budak wanita | Sahaya | Jariyah |
Iddah wanita merdeka (ditalak saat suci, belum haid sebelumnya) | 48 hari dan satu lahzah | Tiga kali haid dan tiga kali suci |
Iddah wanita merdeka (ditalak saat haid) | 47 hari dan satu lahzah | Sama: tiga kali haid dan tiga kali suci |
Perhitungan masa suci | 1 masa suci ≈ 16 hari, dikali 3 → 48 hari | Tidak merinci jumlah hari |
Iddah wanita budak (ditalak saat suci, belum haid sebelumnya) | 32 hari dan satu lahzah | Dua kali haid dan suci (atau separuh dari iddah wanita merdeka) |
Iddah wanita budak (ditalak saat haid) | 31 hari dan satu lahzah | Sama: dua kali haid dan suci |
Pendekatan penjelasan | Sangat detail, dengan rincian kondisi waktu talak, masa suci, dan haid | Ringkas namun menyeluruh, menyebutkan semua jenis iddah (cerai, wafat, belum diwata’, hamil) |
Gaya bahasa | Terperinci dan memperhatikan kondisi spesifik | Ringkas, mudah dipahami, langsung pada intinya |
Kutipan dari dua kitab ini mengajarkan pemahaman tentang iddah. Mau yang detail seperti Kitabun Nikah, atau yang praktis seperti Mabadi Ilmu Fikih, semuanya bermanfaat.
Yang penting, kita memahami bahwa iddah bukan hanya aturan teknis, tapi bentuk kasih sayang Islam pada perempuan dan keluarganya. Agar kehidupan setelah perpisahan tetap terjaga dengan adab dan hukum yang adil.(*)
)* Mahasiswa Program Magister Hukum Keluarga – UIN Antasari Banjarmasin)