Sidang Sengketa PSU Banjarbaru di MK, Tiga Petitum Pemohon dan Dugaan Intimidasi

Banjar Update22 Dilihat

BANJARUPDATE.COM, BANJARMASIN – Sidang sengketa hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Banjarbaru digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (15/5).

Ada dua gugatan yang diajukan terkait hasil PSU Pilkada Kota Banjarbaru yang dilaksanakan pada 19 April 2025 lalu tersebut.

Gugatan pertama, diajukan oleh Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) melalui Ketua DPD LPRI Kalimantan Selatan (Kalsel), Syarifah Hayana.

Gugatan kedua diajukan oleh Udiansyah, warga TPS 007 Kelurahan Sungai Besar, dengan nomor perkara 319/PHPU.WAKO-XXIII/2025.

Dalam sidang MK yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, para pemohon menyampaikan dugaan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pelaksanaan PSU Pilkada Banjarbaru.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk membatalkan Keputusan KPU Kalsel Nomor 69 Tahun 2025 tentang Penetapan Hasil PSU Pilkada Banjarbaru. Kemudian, mendiskualifikasi pasangan calon Erna Lisa Halaby-Wartono.

Dan terakhir, memerintahkan KPU RI untuk mengambil alih penyelenggaraan pemilihan ulang Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru pada 27 Agustus 2025, dengan mengulang seluruh tahapan pemilihan.

Saat sidang, kuasa hukum pemohon, Muhamad Pazri, menyebut adanya praktik politik uang, intimidasi terhadap pemilih dan pemantau, serta ketidaknetralan aparatur negara.

Ia juga menyebut nama Ghimoyo, mantan CEO Jhonlin Group yang kini menjabat Direktur Utama BUMN dan dikenal sebagai Presiden Relawan Dozer, sebagai salah satu aktor yang diduga terlibat.

“Dalam PSU Banjarbaru terjadi apa yang kami sebut DUIToktasi, yakni demokrasi yang dibajak melalui politik uang dan intimidasi,” kata Pazri.

Tim pemohon mengklaim memiliki 173 barang bukti untuk perkara nomor 318 dan 172 barang bukti untuk perkara 319, termasuk video, pemberitaan, dan pesan WhatsApp.

“Berbagai keterangan dan informasi dari pemilih yang menyampaikan politik uang untuk memilih Paslon Nomor 1 merambah dan tidak terkendali,” kata Pazri.

Di sisi lain, di sidang tersebut, Syarifah Hayana mengaku mengalami intimidasi dan tekanan hukum menjelang persidangan, termasuk pencabutan akreditasi LPRI sebagai lembaga pemantau pemilu oleh KPU dan Bawaslu, serta penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Polres Banjarbaru.

“Kami tidak mengerti. Menjelang sidang, KPU, Bawaslu, dan Gakkumdu justru mencabut akreditasi pemantau kami dan memproses kami secara hukum. Saya merasa ini bagian dari upaya menghalangi proses hukum yang sedang kami tempuh,” ujar Syarifah di hadapan majelis hakim.

Syarifah juga menyebut adanya tekanan dari berbagai pihak agar mencabut gugatan, namun ia menegaskan akan tetap melanjutkan perjuangan. “Insyaallah kami tidak akan mundur. Sekali maju, pantang menyerah melawan ketidakadilan,” tegasnya.

Kuasa hukum pemohon lainnya, Denny Indrayana, menambahkan bahwa praktik politik uang terjadi hampir di seluruh kecamatan. Ia menyoroti pernyataan Ghimoyo yang mengatakan, “dari 75.000 kita siram” yang dinilai sebagai upaya menyuap pemilih.

Ia juga mengkritik intimidasi terhadap pemohon, termasuk pemanggilan oleh Bawaslu dan Polres Banjarbaru, serta pencabutan akreditasi lembaga pemantau.

Ia menjelaskan bahwa politik uang sebelum PSU dilakukan dengan dua fase: fase pertama pembagian uang senilai Rp100 ribu dan fase kedua senilai Rp200 ribu. Pembagian uang diduga dilakukan di seluruh kecamatan.

“Kami sudah melaporkan ini ke Bawaslu tentunya. Tidak ditindaklanjuti (oleh Bawaslu) dengan alasan bukan pelanggaran pemilihan,” ucap Denny.

Ketua RT disebut terlibat dalam politik uang itu. Modusnya, tutur Denny, Tim Dozer merekrut ketua RT yang bisa memilih Lisa-Wartono dan diberi uang. Selain itu, Denny mengaku mendapat keterangan dari saksi bahwa uang dibagikan melalui istri ketua RT.

Dia menambahkan, KPU Banjarbaru dinilai tidak profesional dalam menyelenggarakan PSU bercalon tunggal. Sebab, tidak ada panduan memilih antara pasangan calon dan kolom kosong di tempat pemungutan suara, kurangnya sosialisasi, serta tidak meratanya pembagian undangan pemilih.

“Yang Mulia (hakim konstitusi) kalau ke Banjarbaru, itu hanya satu baliho PSU. Satu saja,” ujar Denny.

Di sisi lain, ia menyoroti perbedaan daftar pemilih tetap (DPT) antara Pilkada tanggal 27 November 2024 dan PSU pada tanggal 19 April 2025. Padahal, putusan MK sebelumnya memerintahkan KPU melakukan PSU tanpa mengubah DPT.

Sementara itu, Hakim Arief Hidayat dalam sidang menanggapi hal ini dengan menenangkan Syarifah dan menegaskan bahwa proses hukum akan berjalan secara terbuka dan adil.

Sidang selanjutnya akan melibatkan pemeriksaan lanjutan terhadap bukti dan saksi dari kedua belah pihak.

KPU Kalsel sebagai pihak termohon telah menyiapkan dua kuasa hukum untuk menghadapi gugatan ini.

Diketahui, pada mulanya Pilkada Banjarbaru 2024 diikuti dua peserta; Pasangan nomor urut 1 Erna Lisa Halaby-Wartono dan pasangan nomor urut 2 Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah.

Kemudian, pasangan Aditya-Said didiskualifikasi satu bulan sebelum pemungutan suara, 27 November 2024. Meskipun telah didiskualifikasi, nama dan gambar Aditya-Said tetap ada di surat suara.

Lantas, melalui Putusan Nomor 05/PHPU.WAKO-XXIII/2025, Mahkamah menyatakan Pilkada Banjarbaru 2024 tidak sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945. Maka dari itu, MK memerintahkan KPU Kota Banjarbaru melakukan PSU dengan metode pemilihan kotak kosong.

Berdasarkan hasil PSU, pasangan Lisa-Wartono memperoleh 56.043 suara (52,15 persen), sementara pemilih kolom kosong berjumlah 51.415 suara (47,85 persen). Dengan begitu, Lisa-Wartono dinyatakan unggul atas kolom kosong.

Tinggalkan Balasan