Asyura di Banua: Tradisi Lokal atau Pengaruh Persia?

Ahmad Muhajir, PhD. Foto: dok.pribadi
Oleh: Ahmad Muhajir, PhD

Peringatan Asyura di Banua oleh sebagian kalangan dianggap sebagai salah satu bukti adanya pengaruh Persia dalam proses Islamisasi di daerah ini. Perlu diketahui bahwa bangsa Persia umumnya berasal dari wilayah yang kini dikenal sebagai Iran. Belakangan, Iran sering muncul dalam pemberitaan karena konflik berkepanjangan dengan Israel. Namun, isu kontemporer tersebut bukanlah fokus tulisan ini. Yang akan saya kemukakan adalah peristiwa-peristiwa lama yang sampai hari ini dikenang setiap tanggal 10 Muharram—hari yang dikenal sebagai Asyura.

Dalam kajian ilmiah mengenai asal-usul Islam di Nusantara, termasuk Kalimantan, terdapat satu pandangan yang dikenal sebagai Teori Persia. Teori ini menyatakan bahwa Islam di wilayah kita kemungkinan besar mendapat pengaruh dari tradisi Persia. Salah satu tokoh yang mendukung pandangan ini adalah Hoesein Djajadiningrat. Ia menunjukkan sejumlah bukti adanya jejak budaya Persia dalam praktik keislaman kita, seperti peringatan Asyura (10 Muharram) dan ajaran Wahdatul Wujud. Selain itu, kata “Syah”—yang berarti raja dalam Bahasa Persia—juga muncul dalam nama Sultan pertama Kerajaan Islam Banjar, yakni Sultan Suriansyah.

Seperti telah saya singgung, mayoritas bangsa Persia kini tinggal di Iran. Umat Muslim di negara ini umumnya menganut mazhab Syiah. Bagi mereka, 10 Muharram adalah hari berkabung untuk mengenang Tragedi Karbala—peristiwa memilukan yang merenggut nyawa cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husain, yang terbunuh oleh lawan politiknya. Peringatan ini biasanya melibatkan berbagai ritual dan ekspresi duka, yang berpusat pada penghormatan atas kesyahidan Imam Husain dan keluarganya, serta simbol perlawanan terhadap kezaliman.

Karena di Kalimantan—khususnya di Banua kita—masyarakat juga memperingati 10 Muharram, hal ini kerap dianggap sebagai salah satu bukti adanya pengaruh Islam Persia dalam tradisi keagamaan masyarakat Banjar.

Pertanyaannya: bagaimana peringatan Asyura di Banua kita biasanya dilaksanakan? Apakah mirip atau berbeda dengan peringatan 10 Muharram dalam tradisi Muslim Syiah?

Ada dua hal mencolok dalam peringatan Asyura di tengah masyarakat kita. Pertama, pelaksanaan puasa sunnah yang dilakukan secara luas oleh berbagai kalangan—tua-muda, laki-laki maupun perempuan, kaya maupun miskin. Sebagian Muslim Banjar bahkan berpuasa juga di hari Tasu’a (9 Muharram), sehingga mereka menjalani puasa selama dua hari penuh.

Pelaksanaan puasa ini diajarkan oleh para ulama dan didasarkan pada hadis-hadis yang sahih. Di antaranya adalah hadis riwayat Ibnu Abbas, yang menceritakan dialog antara Nabi Muhammad SAW dan kaum Yahudi yang berpuasa pada hari Asyura untuk mengenang diselamatkannya Nabi Musa dan Bani Israel dari kejaran Fir’aun. Ada pula hadis riwayat Aisyah, yang menyebut bahwa puasa Asyura telah menjadi tradisi umat Islam sebelum diwajibkannya puasa Ramadan. Kedua riwayat ini sama-sama menunjukkan landasan kuat bagi pelaksanaan puasa sunnah Asyura.

Kedua, dalam khutbah dan pengajian menjelang 10 Muharram, sering disampaikan bahwa hari Asyura merupakan hari yang sangat bersejarah bagi para Nabi terdahulu. Selain kisah selamatnya Nabi Musa dari Fir’aun, disebut pula berbagai peristiwa besar lainnya yang diyakini terjadi pada hari yang sama: taubat Nabi Adam diterima oleh Allah, kapal Nabi Nuh berlabuh setelah banjir besar, Nabi Ibrahim diselamatkan dari kobaran api Raja Namrud, Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara, Nabi Yunus dimuntahkan dari perut ikan, dan Nabi Ayyub disembuhkan dari penyakitnya.

Sebagian dari kita mungkin skeptis terhadap semua rangkaian cerita ini. Namun, kisah-kisah tersebut telah menjadi bagian dari wacana keislaman yang diwariskan secara turun-temurun di mimbar-mimbar masjid oleh para tuan guru Banjar.

Patut dicatat bahwa kisah Tragedi Karbala—terbunuhnya Sayyidina Husain—jarang sekali, atau bahkan hampir tidak pernah, disampaikan dalam pengajian dan khutbah di tanah Banjar. Tentu bukan karena para ulama Banjar tidak mengetahui peristiwa tersebut; mereka umumnya telah mempelajari sirah Nabi dan sejarah Islam secara baik. Namun, penekanan dalam pesan-pesan keagamaan seputar Asyura di Banua lebih terarah pada anjuran puasa sunnah dan keistimewaan 10 Muharram, yang diyakini telah ada sejak masa para Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW diutus. Perlu dipahami bahwa puasa Asyura dan berbagai peristiwa agung tersebut terjadi jauh sebelum peristiwa Karbala.

Hal mencolok lainnya adalah tradisi memasak Bubur Asyura. Biayanya dikumpulkan secara sukarela dari warga kampung sehari sebelum 10 Muharram. Bubur yang telah dimasak lalu dibagikan kepada seluruh masyarakat—baik yang ikut menyumbang maupun tidak. Tradisi ini mencerminkan semangat sedekah, baik berupa harta, waktu, maupun tenaga, yang sangat sejalan dengan ajaran Islam.

Menariknya, komposisi Bubur Asyura sangat beragam. Berbagai jenis kacang-kacangan dan sayuran seperti kentang, terong, hingga labu dicampur menjadi satu. Rasanya pun berbeda dari bubur Banjar biasa yang berbumbu sup. Karena itu, tidak sedikit anak-anak yang kurang menyukai bubur ini karena tidak familiar di lidah mereka.

Dahulu, ibu saya pernah bercerita bahwa banyaknya campuran dalam Bubur Asyura ini dikaitkan dengan kisah Nabi Nuh. Setelah kapalnya berlabuh, pengikut beliau membuat makanan dari sisa bahan yang ada dan mencampurnya ke dalam satu kuali agar cukup untuk semua penumpang. Cerita ini hidup dalam memori kolektif masyarakat dan menjadi salah satu penjelasan simbolik di balik tradisi bubur Asyura.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa peringatan Asyura di Banua kita memiliki karakter yang khas dan berbeda dari tradisi Syiah di Iran, meskipun keduanya sama-sama menaruh perhatian pada tanggal 10 Muharram. Tradisi puasa, bubur Asyura, serta penekanan pada peristiwa para Nabi menunjukkan bahwa masyarakat Banjar menafsirkan hari Asyura dalam kerangka Sunni yang lebih spiritual dan kolektif, bukan dalam kerangka sejarah politik seperti dalam mazhab Syiah.

Dengan demikian, Asyura di Banua dapat dipahami lebih sebagai bagian dari tradisi lokal Islam yang berkembang secara khas, bukan semata-mata sebagai jejak pengaruh Persia. Meskipun Teori Persia memberikan kemungkinan historis tertentu, tradisi Asyura di Banua menunjukkan adanya proses pemaknaan ulang yang kontekstual dan berakar dalam kehidupan keagamaan masyarakat Banjar itu sendiri.

Tinggalkan Balasan