Mengantar Anak Menjadi Santri

Opini10 Dilihat
Ahmad Muhajir, PhD. Foto: dok.pribadi
Oleh: Ahmad Muhajir, PhD

Tiga puluh tiga tahun lalu, saya diantar oleh orang tua untuk mondok di sebuah pesantren. Hari ini, giliran saya yang mengantar anak sendiri ke pondok pesantren. Meski tempat dan masanya berbeda, tradisi keluarga untuk mengirim anak menjadi santri terus kami lanjutkan.

Anak kami adalah laki-laki. Sejak beberapa tahun terakhir, kami telah meniatkan bahwa selepas pendidikan dasar, ia akan melanjutkan ke pesantren. Ini bukan keputusan mendadak, melainkan harapan yang sejak awal kami komunikasikan kepadanya dengan perlahan namun pasti. Seandainya ia perempuan pun, kemungkinan besar langkahnya tetap kami arahkan ke jalan yang sama: menjadi santri.

Saya dan istri sama-sama pernah merasakan kehidupan pesantren. Sekitar tiga dekade lalu, kami menjalani masa-masa itu di tempat berbeda. Maka ketika niat itu saya sampaikan, istri langsung menyetujuinya tanpa ragu. Kami sama-sama tahu, pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tapi juga ruang penting bagi pembentukan karakter, kedisiplinan, dan kemandirian.

Tradisi ini juga dijalankan keluarga besar. Ponakan istri saya, dua anak perempuan sudah lebih dulu mondok di sebuah Islamic Boarding School di Barito Kuala. Demikian pula keponakan saya sendiri, kini belajar di sebuah pesantren di Yogyakarta. Bahkan jika ditarik lebih jauh, kakek saya pernah ‘nyantri’ di Makkah selama tiga belas tahun. Konon, dalam satu malam Ramadan yang khusyuk, ia memanjatkan doa agar anak-cucunya diberi ilmu agama hingga tujuh turunan. Saya sering berpikir, barangkali keinginan kami—dan kini anak kami—untuk menjadi santri, adalah bagian dari terkabulnya doa itu. Doa yang menembus generasi.

Diskusi dengan orang tua kami menambah keyakinan. Mereka meyakini bahwa pendidikan pesantren tetap relevan—bahkan semakin penting—bagi generasi Z yang tumbuh di tengah derasnya arus digital dan tantangan nilai. Mereka pun, tanpa diminta, ikut memberikan dukungan moral dan finansial sebagai bentuk cinta kepada cucunya. Bagi mereka, membantu cucu mondok adalah ladang amal dan kebahagiaan batin—sumbangsih yang mereka yakini akan menjadi amal jariyah.

Ketika hari penyerahan tiba, kami terkesan dengan suasana yang hangat dan tertib. Para tokoh pondok memberi sambutan yang menyentuh, mengingatkan bahwa dukungan orang tua tidak hanya soal biaya, tetapi juga kesabaran dan keikhlasan. Orang tua diimbau untuk menahan rindu, sabar menghadapi keluhan anak, serta tidak mudah luluh oleh muslihat anak yang belum siap beradaptasi.

Salah seorang ustadz bahkan menyampaikan dengan nada bercanda bahwa “mengelola orang tua santri” kadang lebih menantang dibanding membina para santri itu sendiri. Sementara seorang pengawas yang juga wali santri menyatakan keikhlasannya melepas anak untuk dididik para ustadz dan ustadzah yang, menurutnya, adalah orang-orang yang mengabdikan diri untuk mendidik dengan tulus.

Pihak pondok juga melibatkan santri ‘lama’—yang sudah memasuki tahun kedua atau ketiga—untuk membantu keluarga baru. Mereka membantu membawa barang dari area parkir ke asrama, dengan sopan dan tulus, tanpa mengharap imbalan. Salah satu dari mereka bahkan memberi saran hangat, “Sebaiknya rak paling atas dikhususkan untuk kitab-kitab.” Gaya tutur yang sederhana, tapi mencerminkan budaya saling menghargai yang hidup di pesantren.

Harapan tentu kami titipkan. Pesantren ini memiliki program Tahfizul Qur’an. Disebutkan bahwa sejumlah santri mampu menyelesaikan hafalan 10 hingga 30 juz. Namun, kami tidak menaruh ekspektasi muluk. Kami tahu kekuatan anak kami bukan di bidang hafalan. Yang lebih kami harapkan adalah ia tumbuh dengan akhlak baik, kedisiplinan kuat, dan keteguhan hati—bekal yang amat berharga untuk menjalani hidup.

Penampilan perwakilan lulusan pesantren hari itu menambah keyakinan. Mereka berbicara di depan orang tua dengan percaya diri, tanpa teks, tanpa persiapan khusus. Mereka berbagi cerita soal kehidupan di asrama, ritme belajar, dan capaian akademik. Mereka juga telah diterima di kampus pilihannya, menegaskan bahwa pesantren bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan intelektual yang lebih luas.

Saya memahami hal itu sepenuhnya. Setelah mondok di Banjarbaru, saya menempuh jenjang pendidikan hingga Strata Tiga. Maka bagi saya, mondok adalah fondasi. Dan hari ini, saya berharap anak saya pun sedang memulai pondasinya sendiri.

Akhirnya, diiringi doa dan pelukan, kami melepasnya menjadi santri. Semoga ia, bersama teman-temannya, mampu melalui masa-masa awal yang penuh tantangan, dan kelak, tumbuh menjadi pribadi yang utuh, tangguh, dan beriman. Para ustadz mengingatkan kami untuk bertawakal dan mendoakan semua pihak agar dimudahkan dalam menjalankan peran masing-masing. Dan kami pun melangkah pulang, dengan hati yang pasrah, tapi penuh harap.(*)

Tinggalkan Balasan